Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Benarkah Sekaten dan Prosesi Grebeg Maulud Kraton Yogyakarta Kian Sepi Penonton?

30 September 2023   13:18 Diperbarui: 30 September 2023   17:55 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim multimedia Kraton Yogyakarta (Dokumentasi pribadi Agustina)

Pertama, saya pernah menonton gamelan Sekaten bersama sekelompok anak SD Muhammadiyah Kauman. Wow! Mereka menonton dengan antusias sekali. Setia menikmati alunan gamelan di Pagongan Lor dan Pagongan Kidul.

Anak-anak SD menikmati Gamelan Sekaten (Dokumentasi pribadi Agustina)
Anak-anak SD menikmati Gamelan Sekaten (Dokumentasi pribadi Agustina)
Jika gamelan di Pagongan Lor sedang dimainkan, mereka di Pagongan Lor. Jika giliran gamelan di Pagongan Kidul yang dimainkan, mereka berpindah ke Pagongan Kidul. Bolak-balik berjalan ngalor-ngidul (ke utara dan ke selatan) dengan penuh semangat.

Tentu mereka hanya menonton saat jam istirahat dan ketika sudah bubaran kelas. Saat saya tanya, "Kenapa menonton gamelan?"

Salah seorang menjawab, "Karena suka. Ternyata gamelan itu seru. Aku ingin memainkan gamelan juga."

Semua memang terkait dengan perkara akses. Tidak tahu tradisi/budaya tidak selalu karena tidak mau tahu. Bisa jadi penyebabnya, memang tidak pernah diperkenalkan dengan tradisi/budaya. Mana mungkin seorang anak bisa tertarik pada Sekaten dan Grebeg Maulud, jika dia tidak pernah diajak menontonnya?

Jadi, anak-anak SD Muhammadiyah Kauman itu amat beruntung karena lokasi sekolah mereka beberapa langkah saja dari Plataran Masjid Gedhe Kauman (Masjid Gedhe Kraton). Adapun Pagongan Lor dan Pagongan Kidul, yakni dua ruangan tempat memainkan gamelan selama pelaksanaan sekaten, berada di plataran tersebut.

Kedua, kegiatan Jogja Walking Tour (JWT) bertema tradisi dan budaya, yang belakangan marak diselenggarakan oleh beberapa komunitas pecinta budaya, selalu dibanjiri peminat. 

Panitia sampai nolak-nolak peserta sebab melebihi kuota yang tersedia. Sebagai solusi, rute untuk satu tema bisa dibuka beberapa kali. Itu pun tetap saja banyak peminat.

Peserta JWT by Malamuseum bertema Sekaten (Dokumentasi pribadi Agustina)
Peserta JWT by Malamuseum bertema Sekaten (Dokumentasi pribadi Agustina)
Perlu diketahui, sebagian peserta JWT itu berasal dari kalangan generasi Z. Rata-rata memang mahasiswa, baik yang berasal dari Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Kiranya mereka mendaftar sebagai peserta karena keinginan sendiri. Bukan sebab tugas kuliah.

Menariknya, ada pula anak-anak usia SD-SMP. Golongan ini biasanya didampingi oleh orangtua masing-masing. Sementara para orangtua tersebut berasal dari generasi milenial atau perbatasan antara generasi milenial dan generasi X.

Menariknya, kegiatan tersebut tidak gratis. Besaran rupiahnya memang tak tentu. Tergantung pada servis dan fasilitas yang diterima peserta. Kadangkala ada yang membayar seikhlasnya. Namun, tak jarang dipasang harga tertentu. Biasanya antara Rp25.000,- hingga Rp80.000,-.

Andai kata tidak berminat serius, pastilah tidak bakalan mau ikut JWT. Daripada lelah berjalan kaki mengikuti acara bertema kekunoan, plus keluar duit sekian rupiah, bukankah lebih nyaman nongkrong di mal modern berpendingin ruangan?

Lebih Sepi Sebab Pasar Malamnya Ditiadakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun