Justru sang sopir bilang, "Ditunggu ya, Bapak, Ibu, kasihan kalau ditinggal. Mungkin sudah menunggu lama tadi."
Ajaibnya, para penumpang mayoritas bereaksi positif. Tidak ada yang naik darah. Itulah sebabnya saya dan dua teman lumayan gagap ketika berkendaraan umum di Jakarta.
Namun, saya juga dibikin takjub oleh satu hal saat naik mikrolet di Jakarta. Di Yogyakarta, selagi tampak ada ruang kosong di antara penumpang yang duduk, kernet pasti masih berusaha menjejalkan penumpang baru. Sementara di Jakarta tidak begitu yang saya jumpai.
Berdasarkan pengalaman berkendaraan umum di Jakarta, ada 2 poin penting yang mengesankan bagi saya.
Pertama, di Jakarta harus gesit serta kuat fisik dan mental kalau hendak naik kendaraan umum. Sopir tidak mau menunggu lama.
Kedua, di Jakarta lebih tertib dengan aturan jumlah penumpang yang bisa duduk. Kalau aturannya 5, ya diisi 5 saja. Meskipun kelima penumpang kurus-kurus sehingga bangku tampak leluasa, tidak ditambahi penumpang lagi.
Calon penumpang yang datang belakangan pun tak memaksa minta ikut duduk. Dia akan berdiri di pintu, duduk di lantai, atau menunggu mikrolet berikutnya.
***
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi pada sekitar tahun 2.000. Jadi, kemungkinan besar moda transportasi yang saya ceritakan di sini sudah tidak ada. Sudah digantikan jenis yang baru. Atau minimal, sudah tidak lagi menjadi moda transportasi idola.
Akan tetapi, tipikal perilaku (calon) penumpang kendaraan umum di Jakarta, bisa jadi masih sama. Tetap lebih agresif daripada (calon) penumpang di Yogyakarta. Terlebih sekarang warga Yogyakarta justru kurang antusias naik kendaraan umum. Jadi, makin tak punya alasan untuk agresif.
Demikian sedikit cerita yang bisa saya bagikan, terkait pengalaman naik kendaraan umum di Jakarta. Semoga ada faedahnya untuk Anda sekalian. Minimal dapat membuat sedikit bernostalgia ke era dua dekade silam.