"Kita nunggu enggak berjubel dululah. Enggak buru-buru juga 'kan?"
"Iya. Ngeri, ya? Kok bisa sampai rebutan gitu."
"Ho'oh. Apalagi bawaan kita banyak begini. Bakalan repot banget."
Sekian menit kemudian, kondisi tak berubah. Calon penumpang KRL tetap berjubel. Begitu KRL datang, serentak mereka menyerbu masuk. Berebut melewati pintu KRL dengan penumpang yang hendak turun. Tampak tidak mau saling bergantian. Malah bikin lama.
Alhasil saya dan dua teman yang baru turun dari kereta api jurusan Yogyakarta-Jakarta, cuma bisa saling berpandangan. Pikiran kami tatkala itu tampaknya sama. Kok begitu amat orang-orang berebutan naik?
"Jangan nunggu sepi. Kagak bakal ada sepinya ini nanti. Langsung ikut merangsek saja. Tapi hati-hati dengan dompet. Naik KRL memang begitu," kata seseorang yang berdiri di dekat kami.
Kami berterima kasih sebab diberi tahu. Kalau tidak, bisa-bisa menungggu sampai siang. Kemudian berbekal nasihat itu, kami pun menaikkan daya juang supaya sukses memasuki KRL. Yang di kemudian waktu, selama berada di ibukota, nasihat itu ternyata wajib kami praktikkan.
Semaksimal mungkin kami mempergesit diri manakala hendak menaiki kendaraan umum. Entah itu mikrolet, metromini, KRL, ataupun kopaja. Kiranya hal itu merupakan salah satu keterampilan khusus untuk berdomisili di Jakarta.
***
Tatkala itu saya sempat berpikir bahwa mustahil berharap, ada sopir angkot di Jakarta yang sesabar sopir angkot di Solo dan Yogyakarta. Di dua kota tersebut, saya kerap naik angkot dan beberapa kali menjumpai sopir yang kesabarannya luar biasa.
Indikasi kesabaran luar biasanya begini. Kalau ada calon penumpang di seberang jalan, walaupun jalanan sedang ramai, sopir tetap berkenan menunggu. Tanpa menggerutu. Tanpa menyuruhnya buruan menyeberang.
Justru sang sopir bilang, "Ditunggu ya, Bapak, Ibu, kasihan kalau ditinggal. Mungkin sudah menunggu lama tadi."
Ajaibnya, para penumpang mayoritas bereaksi positif. Tidak ada yang naik darah. Itulah sebabnya saya dan dua teman lumayan gagap ketika berkendaraan umum di Jakarta.
Namun, saya juga dibikin takjub oleh satu hal saat naik mikrolet di Jakarta. Di Yogyakarta, selagi tampak ada ruang kosong di antara penumpang yang duduk, kernet pasti masih berusaha menjejalkan penumpang baru. Sementara di Jakarta tidak begitu yang saya jumpai.
Berdasarkan pengalaman berkendaraan umum di Jakarta, ada 2 poin penting yang mengesankan bagi saya.
Pertama, di Jakarta harus gesit serta kuat fisik dan mental kalau hendak naik kendaraan umum. Sopir tidak mau menunggu lama.
Kedua, di Jakarta lebih tertib dengan aturan jumlah penumpang yang bisa duduk. Kalau aturannya 5, ya diisi 5 saja. Meskipun kelima penumpang kurus-kurus sehingga bangku tampak leluasa, tidak ditambahi penumpang lagi.
Calon penumpang yang datang belakangan pun tak memaksa minta ikut duduk. Dia akan berdiri di pintu, duduk di lantai, atau menunggu mikrolet berikutnya.
***
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi pada sekitar tahun 2.000. Jadi, kemungkinan besar moda transportasi yang saya ceritakan di sini sudah tidak ada. Sudah digantikan jenis yang baru. Atau minimal, sudah tidak lagi menjadi moda transportasi idola.
Akan tetapi, tipikal perilaku (calon) penumpang kendaraan umum di Jakarta, bisa jadi masih sama. Tetap lebih agresif daripada (calon) penumpang di Yogyakarta. Terlebih sekarang warga Yogyakarta justru kurang antusias naik kendaraan umum. Jadi, makin tak punya alasan untuk agresif.
Demikian sedikit cerita yang bisa saya bagikan, terkait pengalaman naik kendaraan umum di Jakarta. Semoga ada faedahnya untuk Anda sekalian. Minimal dapat membuat sedikit bernostalgia ke era dua dekade silam.
Salam.
#kendaraanumum
#clickompasiana
#kopaja71
#clickxkopaja71
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H