Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Ada 3 Hal yang Mesti Dilakukan agar Koperasi Tetap Eksis

24 Juli 2023   22:07 Diperbarui: 25 Juli 2023   05:12 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semula saya tidak menyadari bahwa ada stigma terhadap koperasi. Sebab pengalaman saya selama menjadi anggota sebuah kopma (koperasi mahasiswa), tidak dilumuri rasa pahit sedikit pun.

Bagaimana bisa terasa pahit, kalau saya bahkan mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha)? Sementara saya cuma berstatus sebagai anggota pasif. Meskipun jumlahnya lebih kecil daripada SHU yang diterima anggota aktif, jumlahnya tetap signifikan bagi saya yang anak kos berkantong pas-pasan.

Selain pengalaman pribadi itu, saya juga menjadi saksi berdirinya sebuah koperasi simpan pinjam yang ada di kampung halaman sana. Yang ternyata di kemudian hari (hingga sekarang), sukses meningkatkan kesejahteraan para anggota dan pengurusnya.

Berdasarkan kedua hal tersebut, wajarlah kalau kesan saya terhadap koperasi 100% positif. Koperasi di mata saya benar-benar merupakan soko guru perekonomian bangsa. Sesuai betul dengan cita-cita Bung Hatta.

Hingga akhirnya saat tinggal di sebuah kampung di pinggiran Kota Yogyakarta, saya terlibat percakapan terkait koperasi dengan tiga tetangga. Tatkala itu mereka usai melakukan pertemuan dengan seorang pegawai (baca: tukang tagih) rentenir.

Agenda utama pertemuan tersebut rupanya pelunasan sekaligus negosiasi jumlah utangan selanjutnya. Saat itulah saya baru paham mengapa si pegawai rentenir tadi rutin datang menagih. Tanpa jeda, tahun demi tahun.

Semula saya pikir masa cicilannya teramat panjang karena jumlah utang sangat banyak. Ternyata, o, rupanya. Jumlah utang tidak terlampau besar, tetapi tiap lunas langsung kembali ambil utang baru. Alhasil, utang mereka sambung-menyambung sehingga terkesan tak kunjung lunas.

Terus terang saya kaget mengetahui fakta tersebut. Serasa di luar nalar gitu, lho. Mengapa? Sebab mereka kerap berkeluh kesah mengenai nasib masing-masing yang terjerat rentenir.

Nah 'kan? Memang membingungkan. Kalau merasa terjerat bunga utang yang tinggi, mengapa tak jera-jera berutang ke rentenir?

Makin mengagetkan ketika saya bertanya, "Kenapa tak pinjam ke koperasi? Di sekitar sini ada koperasi enggak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun