Kian besar jumlah follower berarti kian terbuka kesempatan untuk mendaftar tawaran-tawaran job dari SOV Crowd. Kian berpotensi sebagai member SOV Crowd yang terpilih untuk ikutan campaign suatu brand. Hal itu dapat menjadi portopolio kita.
Sedikit banyak saya telah mempraktikkan masukan-masukan tersebut. Tentu mula-mula karena terpantik oleh semangat untuk dapat memenuhi syarat dan kriteria tawaran-tawaran job dari SOV Crowd.
Memang mempraktikkannya belum maksimal sih, tetapi sudah memulainya. Terbukti beberapa waktu belakangan saya lebih serius mengelola blog, menulis di Kompasiana, dan akun-akun medsos yang saya miliki. Bahkan, saya berani bikin akun TikTok segala.
Perlu diketahui, sebelum bikin akun TikTok saya sampai ikut pelatihan khusus secara daring. Kebetulan salah satu komunitas blogger yang saya ikuti menyelenggarakannya.
Hasilnya? Lumayan baguslah. Paling tidak saya pernah terangkut SOV Crowd untuk campaign sebuah brand di TikTok. Siapa yang menyangka saya bisa saingan eksis di TikTok dengan anak?
Pendek kata, SOV Crowd telah membuat saya berpikiran terbuka. Tidak gampang mendiskreditkan satu jenis medsos dengan jenis lainnya. Karena faktanya, memang tak ada yang perlu didiskreditkan.
Lagi pula, mana mungkin saya menghindari jenis medsos tertentu? Sementara SOV Crowd memanfaatkan semuanya. Mulai dari FaceBook, web/blog, hingga TikTok.
O, ya. Dari penuturan Mas Kevin saya pun baru tahu kalau SOV Crowd menerapkan sistem black list terhadap anggotanya. Lalu, apa penyebab  seorang member SOV Crowd terkena black list? Berikut ini penjelasannya.
- Â Tidak mengerjakan tugas, padahal sudah keterima suatu job
- Mengerjakan tugas, tetapi tidak sesuai dengan brief yang diberikan