Teorinya dari situ saya bisa langsung naik bus mini ke kampung halaman. Namun, apa boleh buat? Teori tak sejalan dengan kenyataan. Trayek bus mini untuk rute tersebut sudah almarhum.
Karena yang pasti ada ojek pangkalan, tak ada pilihan lain. Ya sudah. Naik moda transportasi yang itu. Tentu tak jadi soal bila sendirian dan barang bawaan sedikit. Selanjutnya berubah jadi kerepotan, bila bawaan banyak atau mudik berombongan.
Mustahil pakai taksi luring karena tak ada. Sementara pakai taksi daring tak senyaman dalam bayangan. Malah dipalak sopirnya. Seperti pengalaman saya sebelum era pandemi Covid-19.
Tatkala itu saya dan anak merasa lega sebab berhasil mengorder taksi daring. Ongkosnya 70 ribuan. Akan tetapi, sesampai di titik tujuan, sopirnya meminta 100 ribu. Dengan alasan, dia bakalan bingung untuk balik ke terminal kota. Ckckck.
Semula saya menolak. Ternyata lama-lama dia marah dan mengintimidasi. Ya sudah. Sebab takut, saya bayarlah sesuai permintaannya. Apes.
Sementara ongkos travel kami dari Yogyakarta edisi khusus Lebaran, Â sejumlah 150 ribuan. Tuh 'kan. Malah lebih murah daripada ongkos taksi daring dari terminal ke rumah ortu.
O, ya. Saya juga pernah dipalak sopir travel. Iya. Saya menyebutnya dipalak meskipun dia pasti tak merasa memalak.
Ceritanya begini. Pada suatu Lebaran saya mudik naik travel. Kebetulan sopirnya mengambil rute selatan. Sebelum sampai terminal ada satu belokan ke kanan menuju desa saya. Jaraknya kurang lebih 20 km.
Sebelumnya saya bertanya, apa sopir bersedia mengantarkan hingga ke rumah dengan tambahan ongkos? Dia bilang mau. Saat ditanya berapa jumlah ongkos tambahan, dia jawab sepantasnya saja.
Alhasil, saat turun dari mobil travel saya serahkan 50 ribu kepada sopir. Eh, kok dia mengomel kasar. Bilang kalau sedikit banget. Blablabla.
Sungguh bikin naik darah. Â Saat ditanya jumlah tidak dijawab. Saat diberi jumlah yang pantas, setidaknya menurut itungan saya, mengapa dia permalukan saya di hadapan para penumpang lainnya?