Semula saya tidak berniat menulis artikel sesuai dengan topil "edukasi anak tentang privilese". Alasannya jelas. Saya merasa tidak pernah punya privilese.
Idem ditto anak saya. Kalau orang tuanya saja tak punya privilese, bagaimana mungkin dia bisa memilikinya? Siapalah saya ini. Jabatan tak punya. Kekayaan pun baru sebatas angan.
Hingga suatu ketika saya singgah di tulisan salah seorang kompasianer. Tulisannya sesuai dengan topik pilihan tentang privilese. Seusai membaca, saya teringat sesuatu terkait isi tulisannya.
Saya pun tergerak untuk menanggapi dan mengetikkan komentar begini.
Pada waktu anak saya balita sampai usia SD, kami tinggal di desa. Dia terbiasa naik pohon, main di sungai, ketemu hewan ternak tetangga. Saya pikir-pikir itu sebentuk privilese juga. Karena begitu kami pindah ke kota, teman-temannya sejak lahir sampai besar notabene di kota terus. Tak punya pengalaman seseru itu.
Kompasianer penulis artikelnya setuju kalau hal itu termasuk privilese. Sebagaimana pengalaman pribadinya di masa kecil dahulu.
Pastilah respons tersebut kian menyadarkan bahwa anak saya ternyata punya privilese. Walaupun sebenarnya, itu cuma privilese retjeh.
Faktanya, anak saya lahir dan menghabiskan masa kecil di lingkungan pedesaan. Meskipun saat SD bersekolah di wilayah kota (sesuai dengan alamat KTP kami), pergaulan kesehariannya justru di kampung karena berdomisilinya di kampung.
Kalau dibandingkan dengan teman-teman sekolahnya yang notabene anak kota tulen, anak saya menang banyak dalam hal main kotor-kotoran. Jika mereka butuh outbond berbayar untuk merasakannya, anak saya bisa tiap hari berlumur debu. Gratis dan lebih orisinal pula. Â
Bagaimana tidak kotor melulu kalau mainnya di kebun, sungai, bahkan guling-guling di selokan? Atau kebut-kebutan dengan sepeda, lalu tak sengaja bablas terjun ke sawah yang baru selesai diairi? Terlebih kalau musim penghujan. Bisa tiap hari hujan-hujan plus guling-guling di jalan tanah yang becek.
Saya pikir-pikir, semua jenis permainannya yang cenderung barbar itu memang bikin iri anak kota. Terutama yang tinggal di gang-gang sempit dan akses ke RTH jauh, bahkan tak ada. Layak disebut privilese retjeh.
Anak saya terbiasa berinteraksi dengan hewan ternak milik para tetangga. Ada sapi, kambing, ayam, bebek, burung, dan ikan. Tak jarang ikut pula memberikan makan kepada hewan-hewan tersebut.
Dia pun terbiasa dengan kucing, anjing, dan ular. Sebagian tetangga ada yang memelihara binatang-binatang tersebut.
Iya, ular. Anda tidak salah baca. Tetangga kami memang ada yang ekstrem seleranya. Pilihan binatang peliharaannya tidak lazim, yaitu seekor ular besar. Tidak berbisa, tetapi bisa meremukkan tubuh manusia yang dililitnya.
Anak saya juga akrab dengan rusa dan monyet. Kebetulan ada sebuah kompleks perkantoran di desa sebelah, yang memelihara sejumlah rusa dan seekor monyet. Monyetnya dirantai, sedangkan rusa-rusa dibiarkan bebas berkeliaran.
Pada waktu sore atau di hari libur, banyak orang tua yang mengajak anak-anak mereka bermain ke situ. Kebanyakan naik sepeda motor sebab rumah mereka lumayan jauh. Suasananya mirip piknik di kebun binatang khusus rusa.
Berhubung anak saya dan teman-teman mainnya merupakan warga lokal, mereka punya privilese. Bisa sering datang kapan saja. Terlebih akses main-main ke situ bebas. Tanpa mesti membeli tiket masuk.
Lebih istimewa bagi anak saya karena dia selama 2 tahun bersekolah di TK yang dikelola darma wanita perkantoran tersebut. Serasa saudaraan dengan monyet dan rusa-rusa itu.
Nah. Anda setuju atau tidak kalau pengalaman bermain anak saya itu disebut sebuah privilese? Sebuah privilese retjeh yang kerap tak disadari sehingga lupa untuk disyukuri?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H