Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Privilese Retjeh yang Tak Disadari Sehingga Lupa Disyukuri

20 Maret 2023   19:16 Diperbarui: 20 Maret 2023   19:24 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semula saya tidak berniat menulis artikel sesuai dengan topil "edukasi anak tentang privilese". Alasannya jelas. Saya merasa tidak pernah punya privilese.

Idem ditto anak saya. Kalau orang tuanya saja tak punya privilese, bagaimana mungkin dia bisa memilikinya? Siapalah saya ini. Jabatan tak punya. Kekayaan pun baru sebatas angan.

Hingga suatu ketika saya singgah di tulisan salah seorang kompasianer. Tulisannya sesuai dengan topik pilihan tentang privilese. Seusai membaca, saya teringat sesuatu terkait isi tulisannya.

Saya pun tergerak untuk menanggapi dan mengetikkan komentar begini.

Pada waktu anak saya balita sampai usia SD, kami tinggal di desa. Dia terbiasa naik pohon, main di sungai, ketemu hewan ternak tetangga. Saya pikir-pikir itu sebentuk privilese juga. Karena begitu kami pindah ke kota, teman-temannya sejak lahir sampai besar notabene di kota terus. Tak punya pengalaman seseru itu.

Kompasianer penulis artikelnya setuju kalau hal itu termasuk privilese. Sebagaimana pengalaman pribadinya di masa kecil dahulu.

Pastilah respons tersebut kian menyadarkan bahwa anak saya ternyata punya privilese. Walaupun sebenarnya, itu cuma privilese retjeh.

Faktanya, anak saya lahir dan menghabiskan masa kecil di lingkungan pedesaan. Meskipun saat SD bersekolah di wilayah kota (sesuai dengan alamat KTP kami), pergaulan kesehariannya justru di kampung karena berdomisilinya di kampung.

Kalau dibandingkan dengan teman-teman sekolahnya yang notabene anak kota tulen, anak saya menang banyak dalam hal main kotor-kotoran. Jika mereka butuh outbond berbayar untuk merasakannya, anak saya bisa tiap hari berlumur debu. Gratis dan lebih orisinal pula.  

Bagaimana tidak kotor melulu kalau mainnya di kebun, sungai, bahkan guling-guling di selokan? Atau kebut-kebutan dengan sepeda, lalu tak sengaja bablas terjun ke sawah yang baru selesai diairi? Terlebih kalau musim penghujan. Bisa tiap hari hujan-hujan plus guling-guling di jalan tanah yang becek.

Saya pikir-pikir, semua jenis permainannya yang cenderung barbar itu memang bikin iri anak kota. Terutama yang tinggal di gang-gang sempit dan akses ke RTH jauh, bahkan tak ada. Layak disebut privilese retjeh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun