Tentu kami punya tujuan utama ke PBTY itu. PERTAMA, ke Rumah Tan Djin Sing untuk nonton pameran. Namun, ternyata kami salah informasi. Tak ada pameran di situ.
Rumahnya memang dibuka. Pengunjung boleh masuk untuk melihat-lihat, tetapi tak banyak koleksi sejarah terkait Tan Djin Sing yang bisa dilihat. Karena rumah bersejarah tersebut kini difungsikan sebagai kantor Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi, justru informasi terkait Sumbu Filosofi yang kami peroleh.
Kecewakah kami? Sedikit saja. Bagaimanapun pengetahuan saya bertambah. Dari yang semula cuma tahu bagian luar, malam itu jadi bisa melihat-lihat bagian dalamnya.
Malah saya mendapatkan bonus pengalaman langka. Karena lokasi rumah Tan Djin Sing di lorong makanan nonhalal, saya jadi tahu wujud aneka kuliner dari daging babi. Kalau aromanya kurang begitu mencium. Saya 'kan masih setia bermasker, apalagi saat berada di kerumunan.
O, ya. Sejujurnya semula saya agak grogi saat melintasi lorong makanan nonhalal. Jilbab tentu membuat keberadaan saya di situ cukup menarik perhatian orang-orang.
Namun, kemudian saya sadar untuk tidak ke-GR-an. Jangan-jangan mereka memang tidak memperhatikan. Saya saja yang merasa jadi si paling diperhatikan. Penyakit akut ini, sih.
Lalu, apa tujuan utama KEDUA? Sudah pasti menyambangi panggung kesenian PBTY XVIII. Daya pikat terbesar dari panggung kesenian ini adalah pertunjukan barongsai. Akan tetapi, kami malah berpapasan dengan para pemain barongsai dalam perjalanan menuju panggung kesenian. Mereka hendak pulang.
Andai kata sebelumnya tidak salah panggung, tentu kami masih kebagian nonton pertunjukan barongsai. Dasar kami, ya. Kurang teliti membaca denah yang disediakan panitia. Maunya ke panggung kesenian, malah masuknya ke area panggung lomba karaoke.
Namun, tak jadi soal. Pertunjukan tari-tariannya juga menarik. Plus kian menyadarkan saya bahwa Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta memang untuk semua kalangan. Bukan hanya untuk orang-orang Tionghoa (Peranakan).
Kebetulan tiga tarian yang kami saksikan adalah jenis tari jawa kreasi baru. Menilik wajah-wajah para penari, saya berani menyimpulkan kalau mereka tak punya darah Tionghoa setetes pun.