Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mainan Jadul Latto-latto, Pak Jokowi Vs Mas Gibran

13 Januari 2023   13:05 Diperbarui: 13 Januari 2023   13:14 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya saya tergelitik untuk ikut menulis tentang mainan jadul yang satu ini: latto-latto!

Bukan. Bukan sebab saya merasa ingin bernostalgia. Nostalgia apanya? Di masa lalu, semasa kecil dahulu, saya sekadar tahu kalau ada mainan seperti itu. Tidak pernah memainkannya dan tidak pernah tahu apa sebutannya kalau di kampung halaman sana.

Begitulah adanya. Sesungguhnya saya tak memiliki kesan apa pun terkait latto-latto. Saya tahu sebutan "latto-latto" itu pun baru pada tahun 2022. Tepatnya pada tanggal 22 Desember.  Dari komentar-komentar para warganet terhadap unggahan poster ucapan Selamat Hari Ibu, di akun Presiden Jokowi.

Semula saya tak paham ketika baca-baca komentar para warganet. Selain berkomentar tentang kocheng oyen, kok banyak yang menyebut latto-latto?

Karena kepo berat, saya runut komentar-komentar mereka dan akhirnya saya cermati dengan teliti unggahan poster tersebut. Alhasil, mata saya menangkap gambar seorang anak sedang memegang mainan berbentuk dua bulatan yang dipersatukan tali. Rupanya itulah latto-latto.

Berangkat dari situ, saya baru tahu kalau mainan jadul tersebut sedang bersemi kembali. Seketika saya pun teringat pada anak-anak SD yang kerap berkumpul di teras rumah dengan sondtrack klak-klak-klak. Kadangkala dengan ritme pelan, di lain waktu dengan ritme cepat.

Bahkan tak jarang, salah satu Om mereka nimbrung kalau sore-sore selepas kerja. Nimbrungnya dengan cara ikutan main atau sekadar berteriak-teriak menyemangati agar ritme permainan kian cepat. Persis orang nonton sepakbola itu, lho.

O la la! Ternyata selama ini saya selalu berdekatan dengan latto-latto tanpa tahu namanya.

Hmm. Pahamlah saya kalau sebagian orang merasa jengkel pada latto-latto dan bernafsu memberangusnya. Suaranya! Klak-klak-klak! Plus (kadangkala) .... keberisikan suporternya. Hehehe.

Di keseharian saya belakangan ini, suara mainan jadul tersebut memang mengabadi sepanjang hari. Terlebih bila Sabtu dan Minggu. Pada kedua hari tersebut anak-anak libur sekolah sehingga otomatis main latto-lattonya gaspol sejak pagi hingga malam. Terjeda hanya ketika mereka ke masjid buat ikut salat berjamaah.

Pernah suatu hari saya pergi pagi pulang petang. Berangkat diiringi bunyi latto-latto dan kembali tiba di rumah disambut dengan bunyi latto-latto. Batin saya tatkala itu, "Luar biasa. Betah bangeeet."

Apakah saya tidak terganggu dan tidak merasa jengkel? Alhamdulillah BISA (berusaha) merasa biasa saja. Bagaimana, ya? Saya tak punya alasan khusus untuk geram terhadap bunyi latto-latto.

Walaupun anak-anak tetangga mainnya tepat di bawah jendela ruang tamu, itu belum cukup sebagai alasan untuk geram. Toh sebelum asyik dengan latto-latto, mereka juga kerap di situ dengan keberisikan permainan yang lain.

Namanya juga anak-anak. Bermain apa pun pastilah disertai keberisikan. Enggak ramai enggak seru. Enggak berisik enggak asyik. Terlebih kalau bermain, mereka kerap sambil berceloteh apa saja.

Kalau mereka bisa berbahagia dengan cara sesimpel itu, mengapa pula sebagai orang dewasa, saya harus tega mengusik kebahagiaan mereka?

Kiranya tak jadi soal jikalau saya belajar bersabar dalam menghadapi intimidasi bunyi latto-latto itu. Memang tengah viral 'kan? Sedang menjadi tren. Namun, percayalah. Tak lama lagi akan segera tiba masanya tren latto-latto itu memudar.

Mari tunggu saja. Satu bulan lagi nanti, apakah latto-latto masih seeksis sekarang atau tidak?

Bagaimana halnya dengan potensi bahaya bermain latto-latto? Tentu saya tidak mengingkarinya. Selain berisik, kalau cara bermainnya brutal berpotensi mengenai area wajah. Bisa menghantam pelipis, hidung, mata, bibir, dan jidat.

Jangankan secara brutal. Bermain biasa saja kalau tidak piawai, bisa pula mencelakai diri sendiri. Kalau mainnya ramai-ramai dan jarak terlalu berdekatan, biji latto-latto itu malah bisa mengenai muka teman.

Kalau si teman marah dan ganti memukul dengan latto-lattonya juga bisa gawat. Nah, lho. Apa tidak mengerikan kalau kesudahannya terjadi perang latto-latto begitu?

Untunglah itu hanya merupakan skenario terburuk berdasarkan imajinasi liar saya. Karena kenyataannya, jauh lebih banyak anak yang bermain latto-latto secara aman damai santuy. Sebagaimana halnya anak-anak di sekitaran tempat tinggal saya.

Potensi bahaya mainan jadul latto-latto pun sangat besar manakala yang memainkannya anak temperamental. Kalau ia kesal gara-gara tak bisa-bisa memainkan latto-latto dengan baik, sungguh bahaya.

Ada kemungkinan ia akan menggerakkan mainan jadul itu asal-asalan dengan energi amarah. 'Kan gawat kalau sampai hilang kendali begitu. Latto-lattonya bisa melukai dirinya sendiri ataupun temannya.

Ada berita tentang seorang bocah berusia 8 tahun yang mengalami kecelakaan mata akibat bermain lato-lato. Bocah itu berdomisili di Kalimantan Barat. Sang ayah, dalam wawancara langsung jarak jauh dengan RRI Pro 3, mengisahkan sebagai berikut.

Tatkala itu si bocah bermain latto-latto bersama temannya di belakang rumah. Ibunya di dalam rumah dan tiba-tiba si bocah berlari masuk rumah dan bilang kalau matanya terkena latto-latto. Berdasarkan kesaksian sang ibu, saat itu mata si bocah memerah.

Syukurlah berkat kesigapan dan kerja sama berbagai pihak, si anak tertangani dengan baik. Sekarang sudah proses pembaikan.

Apakah ayah sang anak serta-merta antipati dan menghujat latto-latto?  Semula saya kira begitu. Namun, saat diminta oleh pewawancara untuk berpesan mengenai mainan jadul tersebut, inilah jawabannya, "Janganlah bermain latto-latto. Kalau anak tetap kepingin juga, sebaiknya diawasi."

Si bapak rupanya menyadari bahwa anaknya celaka tersebab latto-latto antara lain sebab ia dan istrinya kurang mengawasi. Jadi, ia tidak serta-merta menyerukan pelarangan terhadap latto-latto.

Ngomong- gomong, kalau sekarang ada wacana untuk melarang latto-latto dimainkan, itu sesungguhnya bukan wacana baru. Pada tahun 1966 dahulu latto-latto malah pernah dilarang beredar di Amerika Serikat. Yang melarang Badan Pengawasan Obat dan Makanan negara tersebut (FDA).

Pelarangan itu didasarkan fakta bahwa selama kurun waktu 10 tahun, yaitu dari tahun 1960-1970, sejumlah anak menjadi korban latto-latto. Bagian mata mereka terluka, bahkan ada yang kemudian menjadi buta, gara-gara terkena serpihan kaca latto-latto.

Iya, tatkala itu latto-latto rupanya berbahan kaca. Tidak seperti sekarang yang berbahan plastik.

Pak Jokowi Vs Mas Gibran 

Sampai di sini mungkin Anda bertanya-tanya. Mengapa judul tulisan ini membawa-bawa nama Pak Jokowi dan Mas Gibran? Baik. Begini alasannya.

Saya tergerak untuk menuliskan pengalaman terkait latto-latto karena melihat VT Pak Jokowi memegangnya sembari berjalan menggandeng La Lembah Manah. Tak sekadar memegang, beliau juga memainkannya pelan-pelan.

Sementara di depan Pak Jokowi dan La Lembah Manah, ada Jan Ethes yang juga berjalan sambil memegang latto-latto. Tatkala itu mereka sedang di Gedung Agung Yogyakarta.

Apa kaitannya dengan Mas Gibran? Nah, ini yang menarik. Saya kira Walikota Solo tersebut, yang kerap melakukan hal-hal random di mata netizen, juga merupakan seorang pemain latto-latto. Faktanya? Ternyata tidak.

Saya tertawa-tawa saat menyimak VT Mas Gibran yang sedang ditanyai para wartawan perihal latto-latto dan Jan Ethes. Antara lain begini, "Demam latto-latto juga, Mas, di keluarga?" Jawab Mas Gibran, "Enggak. Saya larang."

Wartawan bertanya lagi, "Kenapa kok dilarang, Mas? Karena membahayakan atau apa? Bisa ya, Ethes?"

"Malah jangan sampai bisa. Kalau bisa nanti justru berisik. Anak-anak kalian dibilangin agar tidak main latto-latto 24 jam."

Jawaban Mas Gibran pun bikin para wartawan tertawa. Lalu, salah seorang dari mereka kembali mengajukan pertanyaan, "Kemarin pas sama Bapak (maksudnya Pak Jokowi) itu, Ethes memang membawa sendiri atau dikasih sama Bapak?"

"Embuh kuwi. Kok weruh-weruh nduwe. Yo wis, ngunu kuwi lah (Entahlah. Kok tahu-tahu punya. Ya sudahlah)."

Ahaiii. Saya kok curiga, jangan-jangan mainan jadul latto-latto yang dipegang Pak Jokowi dan Jan Ethes tempo hari, dibeli dari para penjual mainan yang mangkal di sepanjang Jalan Malioboro hingga Ngejaman, yang mepet dengan Gedung Agung.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
 

Penutup

Sebelum mengakhiri tulisan ini saya hendak menyampaikan satu pesan penting. Pesannya terkait dengan cara penulisan nama mainan jadul yang viral ini. Penulisan yang benar "latto-latto", dobel 't'.

Mohon jangan sampai tidak dobel 't'. Mengapa? Karena dalam bahasa Bugis lato-lato berarti kakek. Mau tidak mau, teman-teman yang berbahasa ibu bahasa Bugis pastilah akan merasa gimanaaaa gitu, kalau membaca tulisan "main lato-lato". Masak iya sih, kakek-kakek dijadikan mainan bentur-benturan?  

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun