"Anorganik, Nek."
"Oiya, anorganik. Botol, kardus, kertas, itu anorganik. Benar, ya?"
"Iya."
O la la! Ternyata beliau sungguhan masih bingung dalam memahami istilah sampah organik dan sampah anorganik. Sementara selain kedua istilah tersebut, masih ada istilah sampah residu dan sampah B3.
Ya sudah. Akhirnya pagi itu saya sedikit melakukan sosialisasi perihal pilah sampah sebagai prolog beli kopi sachet di toko beliau. Tentu semaksimal kemampuan saya dan melalui narasi yang mudah dipahami si nenek.Â
Sebenarnya pun apa yang saya jelaskan adalah hasil memahami poster yang disebarluaskan instansi terkait. Yang dibagikan oleh Mas X di WAG RW kami. Kebetulan Mas X sang penggerobak sampah adalah salah satu warga di RW kami juga.
Dari informasi dan poster yang dibagikan Mas X itulah saya pertama kali tahu perihal aturan nol sampah anorganik. Malah bukan dari pengurus RW. Mungkin kewenangan perihal dunia persampahan sudah diserahkan sepenuhnya kepada Mas X.Â
Hanya saja, Mas X tidak memberikan juknisnya. Ia sekadar menuliskan bahwa mulai Januari 2023 tak boleh lagi membuang sampah anorganik dan membagikan poster. Saya kira setelahnya pihak RW akan mengadakan pertemuan warga untuk informasi lebih detilnya. Ternyata tidak.
Beberapa hari kemudian ada warga yang bertanya-tanya di WAG. Lalu, salah satu pengurus RW memberikan penjelasan. Disertai pula dengan poster yang narasinya lebih detil.Â
Makin dekat ke akhir tahun, jumlah pertanyaan makin bertambah. Pengurus RW yang menjawab juga bertambah dua orang. Syukurlah. Itu sudah cukup memberikan pemahaman bagi saya.Â
Nenek pemilik toko, walaupun satu RW dengan saya, pastilah tidak membacanya. Kalau cucunya mungkin malah membaca sekilas. Yang menjadi anggota WAG RW 'kan cucunya itu. Sementara sang cucu hanya menginformasikannya kalau mulai Januari 2023 tidak boleh lagi buang sampah. Apa boleh buat? Akibatnya informasi penting tersebut tak tersampaikan dengan baik.