Sebagai pendengar setia radio, saya terdorong ikut berbagi cerita terkait radio, yang dijadikan topik pilihan kompasiana.
Saya 'kan anak radio banget. Tiada hari tanpa radio pokoknya. Hari-hari terasa kurang legit tanpa mendengarkan radio.
Perlu diketahui, hingga kini yang saya dengarkan the real radio. Maksudnya bukan mendengarkan radio melalui aplikasi daring, melainkan dengan menyetel radio zadoel.
Plek ketiplek seperti zaman dulu. Radionya bisa disentuh. Bisa diusap-usap pakai lap (baca: dibersihkan). Bisa pula diatur-atur antenanya.
Pakai acara memutar tombol volume untuk mengatur suara. Pun, saat mencari frekuensi yang pas dengan selera.
Tentunya pula pakai jengkel-jengkel 'dikit tatkala saluran radio kesayangan tak kunjung ketemu atau sudah ketemu, tetapi suaranya kemresek melulu.
Mengapa saya setia berzadoel ria begitu? Simpel saja jawabannya. Karena di rumah masih ada Polytron Stereo Radio Cassette Recorder yang masih berfungsi dengan baik.
Jadi, si Polytron itu saya pertahankan dengan alasan praktis fungsional. Bukan  dengan alasan prestisius, misalnya demi melengkapi desain interior rumah agar terkesan vintage.
Tidak pula dengan alasan merawat kenangan. Kalau dikaitkan dengan kenangan, si Polytron itu justru sudah saya tendang jauh-jauh karena mengandung kenangan pahit.
Lagi pula, mendengarkan radio melalui si Polytron itu hemat kuota data internet. Â Rasanya juga lebih mantap ketimbang mendengarkan radio melalui audio streaming.
Mungkin perkara kemantapan ini disebabkan diri saya yang berstatus remaja 90-an. Karena rupanya bagi anak saya yang genZy, mendengarkan radio melalui audio streaming tak ada bedanya dengan mendengarkan si Polytron.