Tepat pada saat sedang masygul gara-gara sebelumnya melihat foto Pak Bas (Menteri PUPR RI) di akun Instagram Kompasiana, yang menginformasikan bahwa beliau akan hadir di Kompasianival 2022, sebuah berita buruk saya dengar dari radio.
Ada pembunuhan di Magelang! Si pelaku adalah anak kedua, sedangkan para korban terdiri atas kedua orang tua dan kakak perempuannya. Pembunuhan dilakukan dengan racun yang dibeli secara daring. Diumpankan ke dalam kopi dan teh yang diminum oleh para korban.
Saya tertegun menyimak berita buruk itu. Rasa masygul yang semula ada berubah menjadi kengerian dan ketidakpercayaan. Â Sederet pertanyaan melintas di benak.
Sedalam apakah rasa sakit hati si pelaku, yang notabene darah daging korban? Sehingga sedemikian besar tekadnya untuk menghabisi nyawa keluarga sendiri?
Mengapa? Apa yang sesungguhnya terjadi? Bagaimana bisa? Apa alasan kuat si pelaku untuk meracuni seluruh anggota keluarganya? Atau, jangan-jangan si pelaku pembunuhan tidak sehat mental?
Rasanya sulit percaya bahwa peristiwa tersebut terjadi di dunia nyata. Di kota yang tak begitu jauh dari tempat saya berdomisili pula. Sementara selama ini saya berpikiran bahwa peristiwa serupa itu hanya dapat terjadi dalam novel Keigo Higashino.
Terusterang saja, berita pembunuhan di Magelang itu serta-merta mengingatkan saya pada Salvation of A Saint. Sempat terpikir, jangan-jangan pelaku pembunuhan di Magelang terinspirasi oleh novel karya Keigo Higashino tersebut.
Entahlah. Entah mengapa saya spontan mengaitkan peristiwa sadis di Magelang dengan karya novelis Jepang itu?Â
Mungkin karena sama-sama menggunakan racun sebagai senjata? Mungkin karena si pelaku dan si korban sama-sama punya hubungan dekat sebagai keluarga?
Â
Apa pun penyebab dan kemungkinannya, yang jelas unggahan akun Instagram Kompasiana tentang bakal hadirnya Pak Bas di Kompasianival 2022 dan berita pembunuhan di Magelang telah membuat saya kian masygul. Pun, bikin pikiran mendadak rumit.
Seketika saya juga tersadarkan, betapa hidup sering kali kontradiktif. Tak jarang dua hal kontras menyapa kita secara bersamaan. Kadangkala malah lebih dari dua hal. Memaksa kita untuk sedikit merasa gila!
Seperti sekarang. Saya sedih sebab tak bisa terlibat langsung dalam kelana masa depan di Kompasianival 2022 di Jakarta sana. Karena bagi saya, acara tersebut merupakan salah satu cara untuk merayakan hidup. Terkhusus hidup sebagai seorang kompasianer.
Sementara berita pembunuhan di Magelang seperti mengerdilkan makna hidup. Bikin frustrasi. Seolah-olah mewartakan bahwa nyawa manusia dan kehidupan bukan lagi sesuatu yang berharga, Â padahal hidup merupakan anugerah besar-Nya untuk manusia.
Saya tahu bahwa dinamika hidup tak selamanya terasa menyenangkan. Nasib manusia memang berlainan 'kan? Saya pun tahu bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Chairil Anwar.
Akan tetapi, alangkah lebih baik kalau kesunyian itu bisa kita rekayasa menjadi kesunyian yang indah. Bukan malah kita jadikan sarana untuk memperpahit hidup.
Ya, Tuhan. Sepagi ini di tengah hujan yang menderas, mengapa saya mesti terjebak dalam perenungan rumit begini? Hmm. Mungkin ini semacam igauan sebab mimpi saya menghadiri Kompasianival 2022 tak bisa jadi nyata.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H