Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puisi dan Penyair Itu Ya Chairil Anwar

3 Agustus 2022   00:20 Diperbarui: 3 Agustus 2022   00:25 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup hanya menunda kekalahan!
(Chairil Anwar "Derai-derai Cemara")

Spontan saya mendesiskan kalimat itu manakala mendengar kabar kematian seseorang. Yang kebetulan saya ketahui bahwa sebelumnya, ia telah sedemikian keras bertarung melawan kerasnya kehidupan. Kemudian saya akan terdiam lama sebab terkurung aneka rupa pikiran dan perasaan.

Lain waktu ketika membaca curhatan medsos seseorang yang sedang kangen pada kekasihnya nun jauh di sana, spontan saya bisa berkomentar begini.

Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
(Chairil Anwar "Cintaku jauh di pulau")

Tak peduli kekasihnya di seberang pulau atau cuma di kabupaten sebelah, komentar saya sudah paten seperti itu.

Pada kesempatan berbeda, hanya gara-gara melihat tali jemuran berwarna, saya pun bisa mendadak merapalkan ini.

Bersandar pada tali warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
(Chairil Anwar  "Sajak Putih")

Jika berkesempatan menikmati senja di mana pun, baik di atap rumah saat mengambil jemuran maupun di tempat lain yang tak ada romantis-romantisnya, tetap saja spontan di benak saya melintas kata-kata manis berikut.

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
(Chairil Anwar, "Senja di Pelabuhan Kecil")

Jangan tanyakan lagi apa yang saya ingat tatkala sore dan hujan. Sudah pasti dalam kondisi begitu saya auto menggumamkan larik puitis ini.

Gerimis mempercepat kelam
(Chairil Anwar, "Kepada Sri Ayati").

Kemudian nyambung enggak nyambung dengan makna puisinya, suasana malam yang sunyi pun bisa menyebabkan saya mengeluarkan desisan andalan.

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
(Chairil Anwar, "Krawang-Bekasi).

Lihatlah. Sungguh tak bisa diingkari bahwa saya senantiasa dihantui puisi-puisi Chairil Anwar. Namun, tunggu dulu. Anda tak perlu buru-buru menyimpulkan kalau saya adalah penggemar fanatiknya.

Iya, sih. Pada dasarnya saya memang suka puisi-puisi karya penyair bohemian tersebut. Akan tetapi, saya tak pernah bisa menentukan puisi mana yang terfavorit di hati. Itulah sebabnya saya selalu tidak dapat menjawab jika ditanya, "Mana puisi Chairil Anwar yang paling kausukai?"

Demikian pula jika ditanya, "Alasan apa yang membuatmu ngefans kepada Chairil Anwar?"

Ngefans? Saya tidak merasa ngefans dengan penyair yang dijuluki Si Binatang Jalang itu. Saya memang tahu, bahkan cenderung hafal, banyak puisinya. Plus mengagumi diksi-diksi pilihannya.

Akan tetapi, saya tak berani memproklamasikan diri sebagai penggemar beratnya. Tak tahu diri banget kalau sampai berani. Saya ini 'kan tidak ahli tentang Chairil Anwar. Pengetahuan saya tentangnya beserta karya-karyanya pun amat terbatas.

Jangankan ahli. Beli buku kumpulan puisinya atau buku yang membahas kepenyairannya saja tak pernah. Nah 'kan? Penggemar berat macam apa itu?

TAHU DARI MANA?

Lalu, dari mana saya mengetahui puisi-puisi Chairil Anwar? Dari hasil baca dan dengar di mana-mana, dong.

Jangan lupa. Saya adalah remaja 90-an dan tatkala itu puisi-puisi Chairil Anwar kerap dijadikan materi pelajaran untuk bidang studi bahasa dan sastra Indonesia. Mulai dari tingkat SD sampai SMA. Terlebih puisinya yang bertema perjuangan seperti "Diponegoro" dan "Krawang-Bekasi".

Lebih dari itu, puisi-puisi Chairil Anwar acap kali menjadi puisi yang wajib dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi sekecamatan. Walaupun tidak bernyali untuk menjadi peserta, saya adalah penonton setia. Alhasil, ikut hafal tanpa sengaja.

Bayangkan saja kalau yang dibaca puisi yang itu-itu melulu. Sementara pesertanya perwakilan siswa SD sekecamatan. Berasal dari 30 desa dan tiap desa rata-rata punya dua SD (biasanya SDN dan MIN). Adapun tiap sekolah minimal wajib mengirimkan dua wakil (satu putra, satu putri).

Mungkin Anda sekalian menganggap saya terniat sekali berlama-lama nongkrongin orang sekecamatan berdeklamasi. Yang biasanya sejak babak penyisihan hingga final butuh dua atau tiga hari. Dari pagi sampai siang.

Hmm. Bagaimana, ya? Sebenarnya sih selain karena suka puisi, saya betah berlama-lama itu karena lokasi lomba memang cuma di seberang rumah.  Ya sudah. Ketimbang duduk-duduk sendiri di rumah dan bosan, mumpung ada keramaian saya memilih bergabung saja dengan keramaian itu.

Dampaknya pastilah ikutan hafal puisi Chairil Anwar yang dilombakan (dideklamasikan). Yang kemudian seiring waktu berjalan, karena makin sering berjumpa dengan karya-karya Chairil Anwar melalui referensi lain selain buku pelajaran, "hafalan" tersebut lumayan terjaga hingga sekarang.

LAIN DULU LAIN SEKARANG

Sebelum menulis artikel ini, iseng saya bertanya kepada anak, "Kamu tahu Chairil Anwar gak?"

Ia menggeleng-geleng pelan dengan tatapan mata bingung. "Itu siapa? Kayaknya sih pernah dengar namanya. Tapi siapa, ya?"

Semula saya pikir ia ngerjain saya seperti biasa. Eh, ternyata betul-betul tidak tahu. Hadeeeh. Penyair sekaliber Chairil Anwar, lho. Tersadarlah saya bahwa nama Chairil Anwar memang cenderung asing bagi genzy (generasi Z). Eranya berbeda.

Ini berkebalikan dengan generasi zadoel. Para eyang dan orang-orang yang segenerasi dengan saya pada umumnya langsung konek begitu disebut nama Chairil Anwar. Meskipun tidak menggemari sastra terkhusus puisi, mereka rupanya tahu sang pelopor angkatan '45 itu. Bagi mereka, puisi dan penyair itu ya Chairil Anwar.

"Chairil Anwar? O, ya. Yang nulis puisi itu 'kan?"

Yeah? Sejauh pengalaman saya, dahulu orang-orang awam sastra (puisi) pun tahu Chairil Anwar. Idem ditto dengan saya, mereka tahunya dari buku mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Cuma bedanya, saya kemudian lanjut baca-baca tentang Chairil Anwar, sedangkan mereka tidak. Wah, wah, wah. Saya mendadak merasa tiada kawan, nih.

Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Chairil Anwar, Sia-sia")

Muehehehe ....

UNIKNYA "DOA"

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tak ada satu pun puisi Chairil Anwar yang menjadi puisi favorit di hati. Saya bingung menentukan satu pilihan. Namun, ada satu puisinya yang saya nilai unik. Puisi yang saya maksudkan berjudul "Doa".

Uniknya di mana?

Begini. Silakan ingat-ingat barang sejenak. Bukankah Chairil Anwar tak pernah dikenang sebagai sosok yang religius? Alih-alih dikenal religius. Yang ada justru dikenal secara kebalikannya.

Akan tetapi, resapilah puisinya yang satu ini.


"Doa"
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

(13 November 1943)

Bagaimana? Puisi "Doa" memang punya damage luar biasa 'kan? Yang menurut saya, keluarbiasaan itu justru memancar sebab penyairnya bukanlah sosok sealim Taufik Ismail.

Jika "Doa" ditulis Taufik Ismail, pastilah kesan yang dipancarkan akan berbeda.

***

Kiranya ada satu hal yang dapat saya teladani dari Chairil Anwar. Apakah itu? Jawabannya adalah "totalitas berkarya".

Tak tanggung-tanggung. Ia bersedia bekerja keras untuk menguasai bahasa-bahasa asing agar dapat membaca buku-buku sastra dunia sebagai penambah referensi dan wawasan.

Ia juga siap bekerja keras untuk bongkar pasang diksi saat mencipta puisi. Demi mendapatkan diksi paling bernas dan indah. Plus yang dapat paling tepat menyampaikan "amanat" yang hendak disampaikannya.

Bagi Chairil Anwar, menulis puisi tidaklah pekerjaan sekali jadi. Tujuannya satu, yaitu untuk mempertajam torehan kesan di benak dan hati para pembaca.

It works! Buktinya tanpa bermaksud menghafalkan, saya bisa lumayan lancar merapalkan puisi-puisinya. Penyebabnya, diksi yang dipergunakan dalam puisi-puisi tersebut telah betul-betul diseleksi seketat mungkin.

Demikianlah sekelumit cerita di balik interaksi saya dengan puisi-puisi Chairil Anwar. Semoga bisa ikut menghangatkan perayaan 100 Tahun Chairil Anwar.

Salam.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun