Oh, baiklah. Kedengarannya saya altara Yogyakarta minded, ya? Hahaha! Harap dimaklumilah. Saya 'kan berdomisili dekat situ banget.
Â
ALTARA BUKANLAH ALUN ALUN BIASAÂ
Apa boleh buat? Menghapus kenangan indah di altara memang tak gampang. Menerima fakta bahwa diri ini tak lagi bisa menginjak rerumputan altara pun tak mudah.Â
Akan tetapi, saya mesti sadar diri bahwa altara Yogyakarta istimewa. Berbeda dengan alun alun di kota lain.Â
Yup! Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, altara sebenarnya merupakan halaman kraton. Termasuk bagian dari Sumbu Filosofi. Jadi, altara memang memiliki makna tertentu. Tak terpisahkan dari kraton. Bukan semata-mata ruang publik yang luas dan terbuka.Â
Oleh karena itu, kalau kemudian altara Yogyakarta dipagari demi pemeliharaan rerumputannya sudah wajar. Lalu sekarang, ketika rerumputannya diganti dengan pasir dari laut selatan demi pengembalian ke bentuk asli, itu pun wajar.Â
Bukankah dari pagar dan pasir tersebut, sekarang khalayak jadi tahu situasi asli kraton tempo doeloe?Â
Begitulah adanya. Setelah mendapatkan aneka informasi terkait pagar dan pasir di altara Yogyakarta, pada akhirnya saya bisa sedikit legawa menerima fakta terkininya itu. Walaupun tetap saja ketika tiba saatnya Idulfitri dan Iduladha, saya terserang baper karena tak lagi bisa salat di altara.
Untung saja dahulu sempat iseng narsis berfoto ria di altara sebelum berpagar. Lumayanlah. Hasil fotonya bisa menjadi kenangan manis sekaligus dokumentasi bernilai historis seperti ini.