SAYA tak bakalan lupa keterkejutan saya sore itu, yakni ketika pertama kali melihat kondisi altara Yogyakarta yang telah dikelilingi pagar besi tinggi. Yeah? Kalau boleh jujur, saya bahkan sedikit syok sebab merasa amat kehilangan.Â
Tak jadi soal jika Anda sekalian menganggap saya bersikap lebay alias mendramatisir. Akan tetapi, itulah yang sesungguhnya terjadi. Terlebih bermain-main di hamparan rumput altara (alun alun utara) termasuk salah satu rencana saya setelah aturan PPKM diperlonggar.Â
Perlu diketahui bahwa sebelum pandemi Covid-19 melanda, altara belum berpagar. Itulah sebabnya saya terkejut ketika tahu-tahu sudah berpagar. Tepat persis saat saya berkesempatan kembali melihat dunia luar.Â
Ibarat berniat mengunjungi seseorang yang amat dirindukan, ternyata begitu ada waktu untuk berkunjung, kok di rumahnya malah sedang berlangsung resepsi pernikahannya? Bagaimanapun hal demikian berpotensi bikin syok 'kan?Â
Gumam saya tatkala itu, "Yaelah! Ini sih seiring datangnya pandemi, hilanglah ruang publik kami."Â
Mungkin tak pantas saya merasa kehilangan altara. Toh altara bukanlah milik saya. Saya ini hanya penggunanya. Namun, perasaan tak dapat didustai. Rasa syok akibat kehilangan altara tersebut valid adanya.Â
Maklumlah. Ada terlalu banyak kenangan yang tersimpan di altara tersebut. Seiring dengan deretan tahun yang terlewati.Â
Iya. Altara Yogyakarta adalah ruang publik favorit saya. Pastilah bagi orang-orang lain juga. Terutama bagi mereka yang rutin memanfaatkannya sebagai ruang publik. Terkhusus mereka yang bertempat tinggal di sekitarnya seperti saya.Â
Betapa tidak menjadi favorit, jika lokasinya saja amat strategis plus bisa diakses gratis? Berada di pusat kota banget.Â
Dekat dengan Malioboro, kawasan Titik Nol, Masjid Gedhe Kraton, dan Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Bahkan sesungguhnya, altara memang halaman depan Kraton Yogyakarta Hadiningrat.Â