Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengalaman Ikutan Jogja Walking Tour dan Eksistensi Pancasila

12 Juni 2022   00:31 Diperbarui: 12 Juni 2022   00:46 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


1 JUNI 2022

Ketika Presiden Jokowi memimpin upacara Hari Lahir Pancasila 2022 pada 1 Juni lalu, pada saat yang bersamaan saya dan teman-teman peserta JWT (Jogja Walking Tour) melakukan peringatan dengan cara berbeda. Kami tidak melakukan upacara, tetapi sejak pukul delapan pagi sudah bersiap di  alun-alun Pakualaman Yogyakarta.

Iya. Tepat pada Hari Lahir Pancasila, kami punya agenda melakukan jelajah Kampung Bintaran.  Tujuannya mengamati aneka ragam arsitektural pada bangunan-bangunan kuno di Kampung Bintaran beserta napak tilas sejarah di baliknya.

Kampung Bintaran dahulunya merupakan permukiman orang Belanda. Urutannya sebagai permukiman ketiga. Setelah permukiman pertama (kompleks Museum Vredeburg) dan kedua (kawasan loji kecil yang ada di sebelah timur Vredeburg) penuh, dibukalah permukiman ketiga di Kampung Bintaran.


Sampai di sini Anda mungkin bertanya-tanya, apa hubungan JWT dengan Pancasila? 

Baik. Begini penjelasannya.
Salah satu bangunan kuno yang kami sambangi adalah tempat beribadah umat Katholik, yaitu Gereja Santo Yusup Bintaran. 

Gereja indah dan bersejarah itu telah berstatus sebagai Cagar Budaya, tetapi belum terbuka untuk umum. Jadi beruntunglah kami, koordinator JWT mengantongi surat izin berkunjung dari pihak gereja.

Kami juga bersyukur, pemandu dari pihak gereja tidak melarang peserta yang berjilbab ikut mengeksplorasi seluruh bagian/ruangan yang terdapat di seantero kompleks gereja. Termasuk untuk melihat-lihat apa pun yang terdapat di dalam ruangan gerejanya (ruang ibadah utama).

O, ya. Sebelum masuk gereja saya sempat ditanyai oleh sesama peserta JWT yang nonmuslim, apakah tidak apa-apa kalau saya ikutan masuk? 

Tentu dengan yakin saya jawab tidak apa-apa. Toh kami masuk bukan untuk belajar agama melainkan belajar sejarah. Lagi pula, kami masuk ya masuk saja. Tanpa ada ritual khusus.

Sementara seorang peserta lain nimbrung curhat, ia senang sebab semua boleh ikut masuk gereja. Sama halnya dengan saya, ia sangat ingin melihat-lihat suasana di dalam sebuah gereja secara langsung. Bukan sekadar melalui foto ataupun video.

Ujarnya, "Dulu pas temanku yang nasrani nikah, aku ikut datang ke gereja. Eh, tahunya enggak dibolehin masuk."

Alhasil tepat pada Hari Lahir Pancasila 2022, keinginan kami terwujud. Dengan perantaraan JWT, kami yang bukan penganut agama Katholik berkesempatan mengenal gereja Katholik, terkhusus Gereja Santo Yusup Bintaran, secara lebih dekat.

Tentu saja kami amat antusias. Akan tetapi, kami pastilah tidak trunyukan. Sebelum memotret/memvideo sesuatu dan berpose, kami pastikan dulu mengenai boleh atau tidaknya. Jangan sampai sebagai tamu, kami berbuat kurang sopan walaupun tak disengaja.

Sorenya, saat berselancar di internet, saya baca-baca berita daring tentang aktivitas Presiden Jokowi di Ende. Seketika saya teringat pada pengalaman mengeksplorasi Gereja Bintaran pada siang harinya. Teringat pula pada amanat yang disampaikan Presiden Jokowi dari Ende nun jauh di sana.

Pada intinya, presiden mengajak seluruh komponen bangsa untuk mengamalkan Pancasila. Menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa. Menjaga keutuhan NKRI dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Ternyata saya dan teman-teman peserta JWT sudah langsung berhadapan dengan perbedaan yang menuntut sikap toleransi. Yang berarti mempraktikkan amanat presiden terkait pengamalan butir-butir Pancasila.

Peserta JWT dan pemandunya majemuk. Terdiri atas berbagai agama, suku bangsa, dan etnis yang ada di Indonesia. 

Namun, semua baik-baik saja. Tak merasa berbeda, apalagi merasa perlu saling serang. Meskipun rata-rata tak saling kenal sebelumnya, tetap saja santuy saling minta tolong dipotretkan. Hehehe ....

Begitu pula ketika masuk gereja. Semua tahu sama tahu untuk saling menghargai pilihan agama/kepercayaan masing-masing. 

Tak perlu saling cibir kalau merasa ada hal-hal yang tak sesuai dengan keyakinannya sendiri. Yang tak berkenan ikut masuk gereja pun tak kemudian "dikucilkan".

Iya. Sesimpel itu toleransi kami praktikkan. Tanpa banyak wacana dan teori.

5 JUNI 2022

Ahadnya, tanggal 5 Juni, saya kembali mengikuti kegiatan JWT. Para peserta dan sang pemandu tetap majemuk. Terdiri atas orang-orang yang berlainan agama, suku, dan etnis. Rentang usia dan strata sosial mereka juga berlainan. Pokoknya representasi bangsa Indonesia.

Rute jelajah JWT kali ini adalah Kotabaru sisi barat. Perlu diketahui, Kotabaru adalah permukiman orang-orang Belanda yang keempat di Yogyakarta. Sebab Kampung Bintaran kian padat, dibukalah Kotabaru.

Kotabaru merupakan sebuah kawasan yang indah dan luas. Dirancang sebagai garden city sehingga asri. Walaupun kini tak lagi maksimal, sisa-sisa keasrian itu masih bisa dinikmati.

Di Kotabaru kami tidak masuk bangunan apa pun. Kami hanya berjalan kaki napak tilas sejarah dan mengeksplorasi ciri-ciri arsitektural bangunan-bangunan yang ada di situ. Yang semula merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda, tetapi pada perkembangannya berganti kepemilikan dan fungsinya pun berubah.

Nah! Sejalan dengan dinamika fungsi bangunan-bangunan itulah, Masjid Syuhada hadir di Kotabaru. Lokasinya berdekatan dengan gereja Protestan dan Katholik, yang bangunannya lebih tua.

Dokpri/JWT/Di Masjid Syuhada
Dokpri/JWT/Di Masjid Syuhada

Selama bertahun-tahun dalam posisi berdekatan begitu, tak pernah ada masalah. Syukurlah. Semoga sampai kapan pun tetap demikian.

Kiranya Pancasila (disadari atau tidak, diakui atau tidak) bagaimanapun telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terbukti, kami telah terbiasa dengan segala perbedaan yang ada. Tidak syok menghadapi perbedaan-perbedaan.

Betapa tidak terbiasa bila sejak lahir ceprot, orang Indonesia sudah langsung berada di tengah kolam kemajemukan yang kompleks? Terlebih jika kedua orang tuanya berasal dari dua suku atau etnis yang berbeda.

PANCASILA: Pahami, Amalkan, Duniakan!

Saya pikir, semua orang Indonesia tanpa tetkecuali wajib disadarkan bahwa Pancasila tidaklah untuk diperbandingkan dengan Alquran dan kitab suci agama apa pun. 

Menurut saya, kitab suci suatu agama tidak bisa dijadikan opsi pilihan dan diperbandingkan dengan Pancasila. Posisinya berlainan. Beda level.

Sebagai seorang muslim, tidak bisa dengan barbarnya saya memberikan opsi "pilih Pancasila atau Alquran" kepada sesama muslim. 

Alquran itu mengatur sendi-sendi kehidupan pemeluk agama Islam. Sementara Pancasila mengatur sendi-sendi kehidupan tiap orang Indonesia. Dengan demikian, sebagai muslim yang berkewarganegaraan Indonesia, saya mesti taat syariat Islam sekaligus taat kepada Pancasila. 

Sejauh nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan isi Alquran, tak ada alasan bagi saya untuk mengingkari Pancasila toh? Terlebih ada pula kandungan nilai Pancasila yang diambil dari Alquran.

Bagi yang julid kepada Pancasila ....

Wahai, Anda sekalian! Minimal dengan ditetapkannya Hari Lahir Pancasila sebagai hari libur nasional alias tanggal merah, bukankah itu berarti Anda sekalian diberi kesempatan rebahan seharian? 

Jadi, tak ada salahnya dong bersyukur kepada-Nya dan berterima kasih kepada Bung Karno yang melahirkan Pancasila. Lumayan 'kan bisa berjeda dari rutinitas kantoran karena Pancasila? Hahaha!

Hmm. Intinya begini saja, deh. Sebelum menolak Pancasila, belajarlah dulu tentangnya. Belajar supaya tak salah paham. 

Selanjutnya praktikkan, amalkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari ruang lingkup keluarga sampai ruang lingkup berbangsa dan negara.

Jika semua hal tersebut telah kita upayakan semaksimal mungkin secara konsisten, niscaya Pancasila bisa mendunia dengan sendirinya. Sebab ke belahan bumi mana pun orang Indonesia memijakkan kaki, di situ pula ia menampilkan kepribadian Pancasila. Iya toh?

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun