Iya. Sesimpel itu toleransi kami praktikkan. Tanpa banyak wacana dan teori.
5 JUNI 2022
Ahadnya, tanggal 5 Juni, saya kembali mengikuti kegiatan JWT. Para peserta dan sang pemandu tetap majemuk. Terdiri atas orang-orang yang berlainan agama, suku, dan etnis. Rentang usia dan strata sosial mereka juga berlainan. Pokoknya representasi bangsa Indonesia.
Rute jelajah JWT kali ini adalah Kotabaru sisi barat. Perlu diketahui, Kotabaru adalah permukiman orang-orang Belanda yang keempat di Yogyakarta. Sebab Kampung Bintaran kian padat, dibukalah Kotabaru.
Kotabaru merupakan sebuah kawasan yang indah dan luas. Dirancang sebagai garden city sehingga asri. Walaupun kini tak lagi maksimal, sisa-sisa keasrian itu masih bisa dinikmati.
Di Kotabaru kami tidak masuk bangunan apa pun. Kami hanya berjalan kaki napak tilas sejarah dan mengeksplorasi ciri-ciri arsitektural bangunan-bangunan yang ada di situ. Yang semula merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda, tetapi pada perkembangannya berganti kepemilikan dan fungsinya pun berubah.
Nah! Sejalan dengan dinamika fungsi bangunan-bangunan itulah, Masjid Syuhada hadir di Kotabaru. Lokasinya berdekatan dengan gereja Protestan dan Katholik, yang bangunannya lebih tua.
Selama bertahun-tahun dalam posisi berdekatan begitu, tak pernah ada masalah. Syukurlah. Semoga sampai kapan pun tetap demikian.
Kiranya Pancasila (disadari atau tidak, diakui atau tidak) bagaimanapun telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terbukti, kami telah terbiasa dengan segala perbedaan yang ada. Tidak syok menghadapi perbedaan-perbedaan.
Betapa tidak terbiasa bila sejak lahir ceprot, orang Indonesia sudah langsung berada di tengah kolam kemajemukan yang kompleks? Terlebih jika kedua orang tuanya berasal dari dua suku atau etnis yang berbeda.