Hmm. Jangan buru-buru menyimpulkan seperti itu, dong. Ketahuilah bahwa saya ini merupakan biangnya penghematan. Jika ada pilihan untuk berhemat sehemat-hematnya, mengapa mesti bersikap boros?
Begini. Di luar dugaan, selama Ramadan 2022 saya ternyata cenderung menomorduakan kriteria sehat dalam menu sahur. Bukan demi terjaganya selera untuk makan sahur, melainkan untuk berhemat dan menghindari kemubaziran.
Justru dengan tujuan berhemat, tiap sahur saya dan anak merelakan diri untuk makan sahur dengan menu-menu lezat. Hahaha! Kontradiktif memang.
Dari hari ke hari, lauk sahur kami tak pernah jauh-jauh dari daging ayam, telur, dan daging sapi. Sesekali saja berlauk ikan. Masih pula ditambah aneka jajanan manis dan gorengan. Jauh dari label sehat dan hemat 'kan?
Bagaimana, ya? Sama sekali tak ada maksud untuk berboros-boros dan enggan prihatin dengan kondisi finansial pribadi. Hanya saja, di meja makan kami adanya cuma itu.
Menu sahur yang kami punyai memang tak ada yang sehat namun sederhana seperti tempe, sambal, dan sayur bayam. Jika nekad menyediakannya, berarti kami memubazirkan makanan yang telah ada. Jatuhnya bersikap boros dan menjadi teman setan.
Ya sudah. Terima nasib saja. Lagi pula, tak baik menafikan dan mengeluhkan rezeki makanan yang datang dari-Nya melalui perantaraan para tetangga.
Yoiii. Semua makanan lezat yang tersedia sebagai menu sahur kami sesungguhnya merupakan kiriman dari sana-sini. Bukan dari membeli.Â
Itulah sebabnya saya katakan bahwa demi penghematan, kami justru ikhlas makan sahur dengan menu yang tidak sederhana. Betapa tidah hemat kalau jatuhnya seratus persen free? Hahaha!
Demikian kisah tentang menu sahur kami yang hemat, lezat, tetapi kurang sehat. Kiranya ini merupakan sebuah situasi yang "ajaib". Sekaligus menunjukkan bahwa hemat itu tak selalu menyedihkan.Â
Salam.