Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Relokasi PKL Malioboro, Pertarungan Antara Kenangan dan Harapan

9 Februari 2022   22:23 Diperbarui: 10 Februari 2022   09:46 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teras Malioboro 1 (Dokumentasi pribadi/Dian)

Ada yang berwajah baru di Yogyakarta. Sejalan dengan relokasi PKL Malioboro yang telah dilakukan, kini ruas jalan tenar itu steril dari PKL. Alhasil trotoar yang biasanya padat tiada tara, sekarang menjadi lebih lapang.

Sejak pemda DIY dan pemkot Yogyakarta secara simbolis meresmikan Teras Malioboro 1 pada tanggal 26 Januari 2022 lalu, lembaran baru Malioboro pun dimulai. Sayonara Malioboro old normal. Selamat tinggal segala kesemrawutan di trotoarnya. 

Khalayak jagat maya pun merespons dengan berbagai reaksi. Ada yang setuju dengan alasan supaya Malioboro bertambah rapi dan bersih. Ada yang menolak dengan alasan Malioboro kehilangan ciri khasnya, jika tanpa PKL. Ada pula yang bersikap netral.

Yang merespons berasal dari berbagai kalangan dan daerah. Tidak hanya orang-orang yang ber-KTP DIY. Tidak hanya para PKL yang digusur. Dapat dimaklumi. Bukankah Malioboro tak lagi hanya milik orang Yogyakarta dan para PKL di situ?

Menjalankan Misi Mulia

Sehari setelah peresmian Teras Malioboro 1, saya dan kawan-kawan melakukan semacam perjalanan emosional. Kami sepakat bertemu di Titik Nol, kemudian menyeberang ke utara. Sama-sama berjalan kaki menuju Jalan Malioboro.

Rencana kami satu saja, yaitu menikmati suasana sebelum Malioboro betul-betul steril dari PKL. Tentu sembari menyusuri trotoar, kami akan memotreti apa pun yang layak dipotret.

Misi mulia kami adalah mendokumentasikan aktivitas PKL Malioboro. Mulai dari bongkar-bongkar peti kayu penyimpan barang dagangan, menata meja dagangan, hingga siap menyambut para calon pembeli. 

Mendokumentasikan eksistensi PKL Malioboro (Dokumentasi pribadi/Mesha)
Mendokumentasikan eksistensi PKL Malioboro (Dokumentasi pribadi/Mesha)

Sebagai warga lokal yang hobi beredar di kawasan Malioboro, pemandangan tersebut sebenarnya tak asing. Terlalu sering kami menyaksikannya sehingga terasa biasa saja. 

Akan tetapi, pagi itu ada selintas rasa yang berbeda. Walaupun lamat-lamat, terasa ada vibrasi tak bersemangat dari para PKL. Tak seperti pada hari-hari sebelumnya. Namun, entahlah sejatinya bagaimana. Jangan-jangan perasaan kami yang salah? 

Yang jelas kami merasa wajib mendokumentasikan segalanya dengan detil, baik dalam ingatan maupun galeri kamera handphone. Dengan pertimbangan, hari-hari ke depan tak bakalan ada lagi pemandangan serupa.

Ini sejarah. Sejarah runtuhnya Malioboro old normal. Menuju Malioboro yang lebih glowing. Demikian jalan pemikiran kami. Dramatis memang. Bahkan, sedikit alay. 

Mumpung Malioboro masih ber-PKL (Dokumentasi pribadi/Dian)
Mumpung Malioboro masih ber-PKL (Dokumentasi pribadi/Dian)
Salam Perpisahan, Ucapan Terima Kasih

Kami bertekad untuk membuat catatan khusus di hati, mengenai akhir dari eksistensi PKL Malioboro. Katakanlah, semacam menyampaikan salam perpisahan. Plus ungkapan terima kasih.

Bagaimanapun para PKL Malioboro telah berkontribusi positif kepada kami. Aneka rupa komoditi yang mereka jual bisa menjadi peredam kebosanan tanpa harus dibeli. 

Kami tinggal pura-pura menjadi wisatawan yang cuci mata di Malioboro. Kemudian berjalan lontang-lantung di sepanjang emperan toko-toko Malioboro. Tanpa perlu mendatangi suatu lokasi tertentu untuk melihat-lihat tren oleh-oleh terkini dari Yogyakarta. 

Hmm. Kalau dikenang-kenang dengan perasaan sendu, apa-apa yang dahulu merupakan kejadian biasa terkait PKL Malioboro, sekarang kok bikin rindu. 

Apa boleh buat? Yang tercetak permanen di benak ini, Malioboro autentik itu ya Malioboro yang semrawut. Yang emperan toko-tokonya penuh hiruk pikuk PKL. 

Dua kawan saya yang bersekolah SMP-SMA di kawasan situ jelas punya seabrek kenangan dengan PKL Malioboro. Sementara saya yang dahulunya mahasiswa perantauan, pertama kenal Malioboro ya sepaket dengan PKL-nya. 

Kiranya kenangan serupa itu pula yang digenggam oleh banyak orang yang berkeberatan dengan relokasi PKL Malioboro. Sementara mereka bukanlah PKL yang direlokasi. Sama sekali tak dirugikan secara materiil.

Jadi kalau dipikir-pikir dengan jernih, enggak penting banget dasar hukum keberatannya. Yup! Satu-satunya poin keberatan dari anggota aliansi kebaperan semacam kami adalah "takut kenangan tentang Malioboro tak lagi utuh". 

Bagaimana mungkin utuh kalau yang ada cuma Malioboro, sedangkan PKL-nya sudah tak ada? Sementara dalam kenangan, keduanya hadir saling melengkapi.

Repot memang kalau berurusan dengan kenangan. Cenderung absurd dan bikin resah. Jadi, lebih baik menerima kenyataan saja. 

Biarlah Malioboro yang sepaket dengan romantika PKL-nya menjadi masa lalu. Sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengabadikannya saja dalam ingatan. Seiring dinamika zaman, Malioboro memang harus direlakan untuk mulai menganyam kisah yang baru. Tanpa hiruk-pikuk PKL. 

Mari move on. Pada awalnya memang terasa aneh melihat emperan pertokoan Malioboro yang tak dipenuhi lapak-lapak PKL. Namun, yakinlah bahwa lama-lama akan terbiasa juga. Just wait and see. 

Hasil Survei dan Tujuan Baik 

Berdasarkan pencermatan terhadap berita-berita di portal daring, komentar-komentar di unggahan akun-akun IG yang memberitakan relokasi PKL Malioboro, celotehan bebas di WAG alumni kampus dan WAG yang isinya teman-teman satu kos dulu, serta obrolan dengan sesama wong Ngayogyakarta Hadiningrat, saya coba-coba berkesimpulan bahwa orang-orang yang menolak relokasi jauh lebih banyak. Tentu mereka menolak dengan alasan masing-masing.

Namun, ternyata saya salah mengambil kesimpulan. Melalui akun IG-nya, pihak yang berwenang secara resmi menyampaikan kesimpulan yang berkebalikan. Disampaikan bahwa hasil survei menunjukkan, sejumlah 54 % responden setuju relokasi segera dilakukan.

Sudah pasti pengumuman atas hasil survei itu mendapatkan aneka macam komentar dari warganet. Surveinya kapan? Kok saya tidak tahu ada edaran survei online? Kok surveinya diam-diam? Dan lain-lain komentar. 

Sebagai warganet bijak yang sungguh punya waktu luang, saya ketawa-ketiwi membaca satu per satu celometan bernada protes tersebut. Betapa tidak tertawa kalau komentar warganet lucu-lucu? 

Contohnya begini. 

Dipindah ke mana Malioboronya?
Di mana Malioboronya kalau tidak ada PKL di emperan toko? 

Ada-ada saja. Si komentator itu paham atau tidak sih, ya? Bahwa Malioboro adalah nama jalan? Kok malah bertanya dipindah ke mana? Dengan atau tanpa PKL, letak Malioboro ya bakalan tetap di situ.

Saya curiga. Kalau hal sepele begitu saja tidak paham, kemungkinan besar ia tidak tahu sejarah panjang Malioboro sebelum akhirnya dikenal sebagai Malioboro yang sekarang. 

Wah, itu PR besar bagi pemangku kebijakan. Seiring dengan dilakukannya relokasi PKL Malioboro, idealnya dipikirkan juga cara mengenalkan wisatawan dengan masa lalu Malioboro. Mungkin dengan menawarkan paket-paket wisata sejarah di kawasan Malioboro. Tentu dengan didampingi pemandu wisata. 

Dengan demikian wisatawan tak sekadar jalan, jajan, dan nongkrong berjam-jam di Malioboro, lalu pulang menenteng oleh-oleh. Lebih dari sekadar oleh-oleh yang ditentengnya, sang wisatawan bakalan bertambah pengetahuan tentang sejarah Malioboro.

Wow! Membayangkannya kok seru, ya. Bahkan bukan hal mustahil angan-angan saya di atas bakalan terwujud, jika ada pihak berwenang membaca tulisan ini dan kemudiam mempertimbangkannya. 'Kan tujuan saya baik? 

Itung-itung untuk melengkapi tujuan baik relokasi PKL Malioboro. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kepala Dinas Koperasi dan UKM (KUKM) DIY beberapa waktu lalu. Beliau tatkala itu menyatakan bahwa relokasi adalah upaya untuk memuliakan PKL Malioboro agar memperoleh tempat yang representatif.

Semoga tujuan baik tersebut tercapai. Prestise PKL-nya meningkat, laba penjualannya di lokasi baru pun demikian. Semoga pula kebesaran hati para PKL Malioboro untuk pindah ke lokasi baru berbuah hadiah dari UNESCO. 

Perlu diketahui, relokasi PKL Malioboro sesungguhnya tak sekadar untuk kerapian. Ada tujuan yang lebih besar, yaitu menata kawasan Malioboro sebagai bagian dari upaya pemda DIY untuk mengajukan kawasan sumbu filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. 

Siapa tahu dengan mensterilkan Malioboro dari PKL, UNESCO segera meluluskan pengajuan tersebut. Kalau tidak salah ingat, wacana pengajuan sudah ada sejak beberapa tahun silam. Jadi, siapa tahu karena emperan dan trotoar di Malioboro penuh sesak dengan aktivitas komersiil, UNESCO jadi pikir-pikir panjang.

Malioboro niscaya meningkat popularitasnya, jika kawasan sumbu filosofi Yogyakarta dinyatakan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Ujung-ujungnya, pariwisata DIY bisa terdongkrak perkembangannya. Bukankah idealnya semua bisa merasakan manfaatnya? Mari berpengharapan baik saja.

Kelar Relokasi PKL, Jalur Pedestrian Wajib Dikuasai Pejalan Kaki

Tatkala melakukan perjalanan emosional dalam rangka menjalankan "misi mulia" di Malioboro, kami sempat rehat cukup lama di satu titik pedestrian. Saat duduk-duduk sembari berbincang sporadis dan sesekali mengambil gambar, dua skuter listrik (skuter matic) meliuk-liuk di jalur pedestrian. Masing-masing dikendarai satu orang dewasa dan satu anak. Tampaknya wisatawan keluarga.

Saya tercenung memperhatikan mereka. Setahu saya, skuter matic hanya boleh dinaiki satu orang. Kalau diboncengi anak-anak, itungannya dinaiki berdua atau tidak? 

Apa pun jawabannya, kemungkinan besar si skuter matic kelebihan beban. Saya pikir, itu berbahaya bagi pengendara sekaligus berpotensi mempercepat kerusakan trotoar.

Terkait dengan skuter listrik, memang ada kebijakan kalau boleh mempergunakan jalur pedestrian. Akan tetapi, yang diutamakan tetap pejalan kakinya. 

Kebijakan tersebut bagus. Sudah benar. Hanya saja, pada praktiknya saya sering menyaksikan pengendara skuter matic melenggang tanpa dosa di sela-sela kepadatan pejalan kaki. Gimana dong, kalau seperti itu? Kepada siapa para pejalan kaki mengadu?

Semoga ke depan, tak ada lagi pengendara skuter matic bandel. Kalau sampai pejalan kaki merasa tidak nyaman di jalur pedestrian, sungguh tidak asyik. Berarti patut mengusulkan pembatalan relokasi PKL Malioboro. Diganti dengan penertiban dan pembatasan jumlah saja. Jadi PKL-nya tetap ada, jalur pedestriannya tetap lapang. 

***
Apa boleh buat? Ada terlalu banyak rindu yang disimpan untuk Malioboro. Pun, di tiap sudutnya (termasuk di lapak-lapak para PKL) tersemat memori-memori yang mengabadi dalam ruang ingatan para pemilik rindu itu. 

Alhasil, relokasi PKL Malioboro telah mengusik semua kenangan yang ada. Dengan berakhirnya eksistensi PKL Malioboro, berarti para pemilik kenangan itu kini hanya bisa memeluknya dengan ingatan. Tak bisa langsung menatapnya dengan melibatkan udara dan cahaya. 

Akan tetapi, masing-masing pemilik kenangan mestinya tak boleh lupa bahwa Malioboro wajib berbenah di segala lini. Kondisinya harus disesuaikan dengan dinamika zaman. Terkhusus dinamika Yogyakarta sendiri. 

Jadi ketimbang baper dijajah kenangan, sepertinya kok lebih baik fokus mengambil sisi positif dari relokasi PKL Malioboro. Mari berharap yang indah-indah saja untuk ke depannya. Enggak usah pesimis dan skeptis melulu. 

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun