Kelar Relokasi PKL, Jalur Pedestrian Wajib Dikuasai Pejalan Kaki
Tatkala melakukan perjalanan emosional dalam rangka menjalankan "misi mulia" di Malioboro, kami sempat rehat cukup lama di satu titik pedestrian. Saat duduk-duduk sembari berbincang sporadis dan sesekali mengambil gambar, dua skuter listrik (skuter matic) meliuk-liuk di jalur pedestrian. Masing-masing dikendarai satu orang dewasa dan satu anak. Tampaknya wisatawan keluarga.
Saya tercenung memperhatikan mereka. Setahu saya, skuter matic hanya boleh dinaiki satu orang. Kalau diboncengi anak-anak, itungannya dinaiki berdua atau tidak?Â
Apa pun jawabannya, kemungkinan besar si skuter matic kelebihan beban. Saya pikir, itu berbahaya bagi pengendara sekaligus berpotensi mempercepat kerusakan trotoar.
Terkait dengan skuter listrik, memang ada kebijakan kalau boleh mempergunakan jalur pedestrian. Akan tetapi, yang diutamakan tetap pejalan kakinya.Â
Kebijakan tersebut bagus. Sudah benar. Hanya saja, pada praktiknya saya sering menyaksikan pengendara skuter matic melenggang tanpa dosa di sela-sela kepadatan pejalan kaki. Gimana dong, kalau seperti itu? Kepada siapa para pejalan kaki mengadu?
Semoga ke depan, tak ada lagi pengendara skuter matic bandel. Kalau sampai pejalan kaki merasa tidak nyaman di jalur pedestrian, sungguh tidak asyik. Berarti patut mengusulkan pembatalan relokasi PKL Malioboro. Diganti dengan penertiban dan pembatasan jumlah saja. Jadi PKL-nya tetap ada, jalur pedestriannya tetap lapang.Â
***
Apa boleh buat? Ada terlalu banyak rindu yang disimpan untuk Malioboro. Pun, di tiap sudutnya (termasuk di lapak-lapak para PKL) tersemat memori-memori yang mengabadi dalam ruang ingatan para pemilik rindu itu.Â
Alhasil, relokasi PKL Malioboro telah mengusik semua kenangan yang ada. Dengan berakhirnya eksistensi PKL Malioboro, berarti para pemilik kenangan itu kini hanya bisa memeluknya dengan ingatan. Tak bisa langsung menatapnya dengan melibatkan udara dan cahaya.Â
Akan tetapi, masing-masing pemilik kenangan mestinya tak boleh lupa bahwa Malioboro wajib berbenah di segala lini. Kondisinya harus disesuaikan dengan dinamika zaman. Terkhusus dinamika Yogyakarta sendiri.Â
Jadi ketimbang baper dijajah kenangan, sepertinya kok lebih baik fokus mengambil sisi positif dari relokasi PKL Malioboro. Mari berharap yang indah-indah saja untuk ke depannya. Enggak usah pesimis dan skeptis melulu.Â