Akan tetapi, pagi itu ada selintas rasa yang berbeda. Walaupun lamat-lamat, terasa ada vibrasi tak bersemangat dari para PKL. Tak seperti pada hari-hari sebelumnya. Namun, entahlah sejatinya bagaimana. Jangan-jangan perasaan kami yang salah?Â
Yang jelas kami merasa wajib mendokumentasikan segalanya dengan detil, baik dalam ingatan maupun galeri kamera handphone. Dengan pertimbangan, hari-hari ke depan tak bakalan ada lagi pemandangan serupa.
Ini sejarah. Sejarah runtuhnya Malioboro old normal. Menuju Malioboro yang lebih glowing. Demikian jalan pemikiran kami. Dramatis memang. Bahkan, sedikit alay.Â
Salam Perpisahan, Ucapan Terima Kasih
Kami bertekad untuk membuat catatan khusus di hati, mengenai akhir dari eksistensi PKL Malioboro. Katakanlah, semacam menyampaikan salam perpisahan. Plus ungkapan terima kasih.
Bagaimanapun para PKL Malioboro telah berkontribusi positif kepada kami. Aneka rupa komoditi yang mereka jual bisa menjadi peredam kebosanan tanpa harus dibeli.Â
Kami tinggal pura-pura menjadi wisatawan yang cuci mata di Malioboro. Kemudian berjalan lontang-lantung di sepanjang emperan toko-toko Malioboro. Tanpa perlu mendatangi suatu lokasi tertentu untuk melihat-lihat tren oleh-oleh terkini dari Yogyakarta.Â
Hmm. Kalau dikenang-kenang dengan perasaan sendu, apa-apa yang dahulu merupakan kejadian biasa terkait PKL Malioboro, sekarang kok bikin rindu.Â
Apa boleh buat? Yang tercetak permanen di benak ini, Malioboro autentik itu ya Malioboro yang semrawut. Yang emperan toko-tokonya penuh hiruk pikuk PKL.Â
Dua kawan saya yang bersekolah SMP-SMA di kawasan situ jelas punya seabrek kenangan dengan PKL Malioboro. Sementara saya yang dahulunya mahasiswa perantauan, pertama kenal Malioboro ya sepaket dengan PKL-nya.Â
Kiranya kenangan serupa itu pula yang digenggam oleh banyak orang yang berkeberatan dengan relokasi PKL Malioboro. Sementara mereka bukanlah PKL yang direlokasi. Sama sekali tak dirugikan secara materiil.