Anak saya berbisik, "Berarti besok izin enggak masuk sekolah?"
Spontan saya menggeleng. Saya sungguh tidak ikhlas kalau pas giliran masuk sekolah, ia malah tidak berangkat hanya gara-gara mengambil KTP.
Terlebih ia siswa SMK kelas XI. Yang berarti mata pelajarannya mayoritas berpraktik. Sudah cukuplah jam terbang berpraktiknya terdiskon besar gara-gara pandemi covid-19. Tak usah dikasih diskon lagi.
Iya, KTP memang penting. Kami tidak menyepelekan. Buktinya, satu hari khusus kami dedikasikan untuk menuntaskan proses pembuatannya. Bahkan, kami rela datang dan mengantre sejak kantor belum dibuka.
Akan tetapi, tidak masuk sekolah luring semasa PTM (Pembelajaran Tatap Muka) hanya demi mengambil KTP, rasanya kok tidak menguntungkan. Terlebih "judulnya" mengurus KTP secara daring.Â
Terlebih lagi kami sudah menghabiskan pagi untuk menuntaskan proses pembuatannya. Kami tak komplain untuk datang sebab memang harus berfoto dan  membubuhkan tanda tangan.Â
Itu pun kami sengaja memilih datang pagi-pagi, pada hari ketika anak terjadwal masuk siang. Dengan harapan, jelang siang sudah bisa pulang sehingga ia cukup waktu untuk persiapan ke sekolah. Kalau esok pagi mesti ambil KTP sendiri, sedangkan jadwal sekolahnya pagi, berarti tidak bisa bersekolah 'kan?
Alhasil dengan semangat orang tua/wali siswa yang tak mau rugi bayar uang sekolah, saya bertanya kepada petugas, "Maaf, Bu. Apakah harus diambil sendiri oleh si pemohon? Besok jadwalnya masuk sekolah eee ...."
Syukurlah jawabannya boleh. Namun, beliau mewanti-wanti agar saya tak lupa membawa fotokopian KK. Ya sudah. Setelah mendapatkan kepastian yang melegakan itu, kami bergegas mengorder taksi daring. Pulang.Â
Hanya saja, saya memiliki sedikit catatan sebagai "kesan". Yeah, apa boleh buat? Rupanya ekspektasi saya ketinggian terhadap sistem pembuatan KTP secara daring.