Bukankah berdasarkan surat-surat tersebut, pemikiran Kartini mengenai emansipasi perempuan bisa diketahui? Surat-surat itu menjadi bukti autentik. Bukti sahih bahwa selama masa hidupnya yang ternyata pendek, Kartini telah melakukan sesuatu untuk sesama.
Tulisan-tulisan Kartini itulah yang membuat seorang Pramoedya Ananta Toer sampai menyatakan sebuah penghargaan, "Aku mencintaimu sebab kamu menulis." Jadi, wajar kalau saya merasa kaget dengan opini sang novelis.
Mengapa ia lupa pada kenyataan bahwa Kartini menulis? Benar bahwa yang mulai melambungkan nama Kartini adalah kawan Belandanya. Namun, surat-surat yang ditulisnya tetaplah merupakan bukti bahwa Kartini merupakan pelopor kebangkitan perempuan pribumi Nusantara.
***
Syukurlah di kemudian waktu saya juga menemukan sebuah tulisan yang objektif. Yang intinya menekankan bahwa Kartini dan Siti Walidah sama-sama menjadi teladan perempuan Indonesia dalam perjuangan "keserasian gender".Â
Dua pahlawan nasional tersebut sama-sama berjuang untuk membangun keserasian peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, baik di rumah maupun di luar rumah.
Kartini dan Siti Walidah lahir untuk para perempuan Indonesia. Sama-sama menjadi inspirasi. Keduanya tak pernah saling mengalahkan dan menyalahkan, tetapi justru berjalan beriringan. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing.
Hanya saja, Kartini terhenti langkahnya dalam usia muda. Jatah usianya telah habis ketika baru kurang lebih setahun menjadi seorang istri. Lembaran sejarah yang diukirnya pun serta-merta terhenti. Sementara Siti Walidah dengan dukungan penuh sang suami, Kiai Haji Ahmad Dahlan, berkesempatan untuk memaksimalkan perjuangannya dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan Indonesia.
Alhasil, perempuan Indonesia mesti berterima kasih kepada Kartini dan Siti Walidah. Mesti rela menghormati dan menghargai keduanya secara proporsional. Dalam kapasitas dan porsi peran masing-masing. Â