Namun, apa boleh buat? Faktanya, Siti Walidah (yang kemudian lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan) kerap diperbandingkan dengan para pahlawan perempuan lainnya, terutama dengan Kartini. Sementara kondisi mereka berlainan sehingga sesungguhnya tak bisa diperbandingkan secara apple to apple. Â
Bukankah wacana tersebut berbahaya? Berpotensi membuat pembaca yang kurang luas wawasan berpikirnya cenderung menelan mentah-mentah opini si pembuat tulisan.
Ada yang kemudian serta-merta menjadi tidak respek kepada Kartini. Menganggap Kartini sekadar teoretis dan cuma berwacana. Lupa bahwa usia Kartini dan Siti Walidah jauh berbeda sehingga kesempatan mereka untuk berkarya nyata pun berbeda. Kartini wafat pada usia 25 tahun dan Siti Walidah pada usia 74 tahun.
Saya heran karena sang penulis tidak menyadari fakta usia tersebut. Mengapa malah membuat judul "Nyai Dahlan Memilih Mengajari Masyarakat dengan Karya Nyata"; "Nyai Siti Walidah, Lebih dari Seorang Kartini"? Bukankah secara tersirat, judul-judul serupa itu sekaligus menggiring pembaca untuk mereduksi perjuangan Kartini?
Perpaduan antara tulisan serupa itu dan wawasan minimal warganet (pembaca) bahkan sampai memunculkan pertanyaan bernada omelan kepada pemerintah, "Mengapa Siti Walidah tidak ditetapkan sebagai pahlawan?"
Untunglah ada warganet lain yang bersedia menjelaskan bahwa Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Yang menetapkan Presiden Soeharto pada tanggal 10 November 1971. Berdasarkan Surat Keppres No 42/TK/1971.
***
Pada kesempatan lain saya menemukan sebuah tulisan dari seorang novelis laris bin tenar. Yang pastilah punya banyak penggemar militan, yang cenderung selalu mengaminkan opini-opininya.Â
Saya kaget membaca tulisan tersebut. Penyebabnya, tulisan sang novelis bernada mereduksi perjuangan Kartini. Tentu dengan narasi bahwa Kartini baru sekadar bercita-cita. Belum melakukan perjuangan nyata. Â Â
Saya bertanya-tanya dalam hati. Kok begini ya jalan pemikirannya? Apakah sang novelis juga lupa bahwa Kartini wafat dalam usia sangat muda? Yang berarti belum sempat merealitakan gagasan-gagasan emansipasinya dengan bakti nyata di masyarakat? Bukannya bermaksud sekadar melempar gagasan, melainkan tak diberi kesempatan oleh durasi usia.
Mengapa sang novelis tidak memilih menggarisbawahi fakta bahwa Kartini dikenal sebab menulis? Lagi-lagi saya hanya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana mungkin sang novelis lupa dengan surat-surat yang ditulis Kartini untuk sahabat Belandanya?Â