***
Meresahkan. Esok hari penerimaan rapor, tetapi Adiba belum memberikan keputusan. Ternyata baru selepas Isya ia memberikan jawaban. Injury time.
"Bunda. Aku pilih SMK saja. Beneran aku ingin bisa membuat animasi. Khususnya tentang sejarah. Ingin menyenangkan orang-orang dalam belajar sejarah. Lulus SMK mau kerja, tapi sambil kuliah. Jadi kuliahnya bayar sendiri gitu. Kasihan Bunda kalau aku enggak bantu-bantu biayanya. Hehehe ...."
Meskipun disampaikan sambil cengengesan, perkataan putri semata wayang saya itu mengisyaratkan sesuatu yang "berharga". Menyadarkan betapa di balik sikap bandel dan acuh tak acuhnya, ternyata ia bisa berpikir serius juga.
***
Manusia berencana, Tuhan menentukan. Tiba-tiba saja ada Covid-19 hadir menyelimuti bumi. Termasuk bumi Indonesia. Tepat sesaat sebelum anak-anak sekolah menjalani UN (Ujian Nasional). Adiba yang mestinya menjadi peserta UN angkatan terakhir, secara mendadak resmi menjadi angkatan pertama yang lulus tanpa UN.
Tentu ada konsekuensinya. Salah satu yang paling signifikan, ada perubahan tatacara seleksi penerimaan siswa baru sebab mendadak tak ada nilai UN. Sementara hingga saat itu, nilai UN masih menjadi komponen penentu PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).
Sudah pasti menimbulkan "kehebohan" tersendiri, terutama di kalangan orang tua. Namanya juga mendadak. Namun, syukurlah. Di bawah dinamika bayang-bayang kehebohan tersebut (bahkan sempat ada bongkar pasang syarat PPDB segala), Adiba berhasil diterima di SMKN 2 Yogyakarta jurusan multimedia.
Waktu melesat dengan cepat dalam kungkungan pandemi Covid-19 ....
Dengan segala kesulitan dan keterbatasan akibat ketiadaan pembelajaran tatap muka, saat ini Adiba telah duduk di bangku kelas XI. Ia pun sedang berusaha menyelesaikan karya animasi pertamanya.
Walaupun masih berstatus sebagai tugas mata pelajaran, tetap saja itu termasuk debutnya mengingat ia belum pernah sama sekali membuat animasi. Walaupun belum berupa animasi sejarah seperti yang dicita-citakan, tetap saja sudah patut diapresiasi.