"Bhahahaha! Aku lupa. Itu cita-cita waktu kecil. Belum sungguhan. Kalau bikin animasi ini cita-cita beneran, Buuund. Boleh 'kan?"
"Tentu saja boleh. Kalau begitu, lebih baik nanti lanjut ke SMK jurusan multimedia. Jadi, bisa belajar animasi sejak awal. Minimal ada pelajaran dasar-dasar animasi atau yang semacamnya."
Saya memaklumi saja kalau Adiba berganti cita-cita. Dahulu ia ingin menjadi guru mungkin terinspirasi oleh para wali kelasnya. Kebetulan sejak masuk SD hingga lulus, ia menjadi kesayangan guru-gurunya. Adapun cita-cita yang baru saja dikemukakannya, mungkin terinspirasi oleh animasi-animasi yang belakangan banyak ia tonton.
Akan tetapi, respons saya berbeda dengan dahulu. Kalau dulu saya sekadar mengiyakan cita-citanya untuk menjadi guru. Tatkala ia mengatakan ingin bikin animasi, saya mengiyakan sekaligus memberikan pengarahan teknis. Kebetulan saya pernah membaca-baca perihal sekolah vokasi.
Alhasil setelah Adiba menyatakan keinginannya untuk bikin animasi, saya mulai serius mengumpulkan informasi dan referensi mengenai SMK jurusan multimedia. Di kota kami, SMK mana yang punya jurusan tersebut. Syarat supaya diterima di situ apa? Dan hal-hal lain yang terkait.
Iya. Seserius itu respons saya. Pertimbangannya, anak ini sudah SMP dan idealnya sejak kelas VIII sudah tahu hendak melanjutkan sekolah di mana. SMA atau SMK? Akan tetapi, keseriusan itu tak serta-merta menjadi dasar pemaksaan. Prinsip #HarapanAnakMerdeka tetap saya junjung tinggi, dong.
Namun, tiap jelang penerimaan rapor saya cek ricek lagi cita-citanya. Ternyata seiring berjalannya waktu, ia konsisten bercita-cita bikin animasi. Malah kian spesifik, yaitu bikin animasi sejarah. Katanya sih, agar orang-orang bisa lebih asyik belajar sejarah. Tidak merasa bosan. Tampaknya cita-cita ini muncul dari kebosanan pribadinya tatkala belajar sejarah.
Hanya saja, kemudian ada sedikit ganjalan ketika ia berada di kelas VIII awal semester 2. Berhubung banyak kawan sekelasnya yang hendak melanjutkan ke SMA, Adiba bimbang. Cita-citanya bikin animasi tetap ada, tetapi ingin lanjut ke SMA. Sementara ia bilang, ia kurang berminat untuk lanjut di SMA.
Akhirnya saya memberikan tenggat waktu agar ia tidak berlarut-larut dalam kebimbangan. Tentu sembari dilengkapi dengan "narasi" panjang lebar perihal perbedaan SMK dan SMA. Termasuk rumor bahwa anak SMK susah tembus ujian masuk PTN.
Termasuk pula fakta bahwa dirinya kelak tidak bakalan punya nostalgia SMA. Receh memang. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan kerecehan itu kelak akan ia sesali kalau sebelumnya luput tak dijadikan bahan pertimbangan.Â
"Oke, Adiba Octavia Pramono binti Joko Pramono. Bunda tunggu jawabanmu sampai sebelum penerimaan rapor kenaikan kelas. Jadi begitu di kelas IX, fokus hunting sekolah lanjutannya jelas."