Tercokok tiga orang lagi. Ketika mereka dibawa turun dari bus kota, sekonyong-konyong seseorang pindah duduk ke sebelah saya. Menempati kursi penumpang yang kecopetan tadi.
"Duh, lama ini. Enggak segera jalan busnya," katanya memecah kesunyian.Â
Saya menoleh ke arahnya dan merespons demi kesopanan, "Iya. Bikin telat kuliah."
"Aku juga telat kuliah," katanya lagi sembari mengawasi arloji di tangan kanannya. Ekspresinya gelisah. Saya diam tak merespons. Peristiwa konyol yang sedang kami alami membuat saya malas bicara.
Beberapa menit berlalu. Kali ini sopir datang bersama seorang polisi. Keduanya memasuki bus.Â
Sopir menuju kursinya, tapi bukan untuk menyetir. Ia mengawasi penumpang satu per satu. Demikian pula polisi yang berdiri di ujung pintu masuk penumpang bagian depan.Â
Satu kondektur tampak bersiaga di pintu belakang yang tertutup rapat. Satunya lagi bersiaga di belakang polisi, dekat pintu yang terbuka.
Tak ada seorang pun yang berbicara. Tentu saja suasana menjadi tidak nyaman. Masing-masing penumpang pasti merasa diawasi. Terlebih saya sebagai kawan sebangku si korban pencopetan.Â
Iya, lho. Sejujurnya saat itu saya cemas sekali. Khawatir kalau ikut dicokok. Maka saya hampir terpekik ketika polisi mendekat. Berhenti di bangku yang saya duduki, lalu dalam sekejap mencokok penumpang yang duduk di sebelah.
Astagaaa.Â
Ternyata  cowok bermuka polos yang mengeluh telat kuliah itu anggota komplotan copet juga. Benar-benar tak disangka. Penampilannya tak berbeda dengan penampilan anak kuliahan pada masa itu.