Sekali lagi kekonyolan terjadi dalam hidup saya. Kali ini terkait dengan personal branding. Ternyata, oh, rupanya, beberapa waktu belakangan saya telah salah membangun personal branding.Â
Maunya dikenal bisa sebagai penulis atau editor bahasa atau narablog yang gemar pura-pura jogging. Eh, malah terbalik. Warganet justru mengenali saya sebagai atlet pura-pura jogging yang sesekali tertarik untuk menulis.
Sepintas lalu memang tampak sekadar terbalik. Akan tetapi, kalau dikuliti akan sangat nyata perbedaan dampaknya.
Bila dikenal sebagai penulis atau editor, dampaknya bisa mendatangkan tawaran pekerjaan terkait tulis-menulis atau editing naskah. Bila dikenal sebagai narablog, dampaknya bisa mendatangkan kesempatan untuk kampanye produk/jenama tertentu dengan cara menuliskan ulasannya (product review).
Untuk dua tipe tawaran pekerjaan/kesempatan di atas, insyaallah saya sanggup. Bukankah sesuai dengan keahlian saya? Sebaliknya ....
Bila dikenal sebagai atlet pura-pura jogging yang sesekali tertarik untuk menulis, dampaknya bisa mendatangkan ajakan untuk ikut lomba marathon. Ya Allah. Itu sangat salah jurusan 'kan? Tentu saya tak akan menyanggupinya. Level lari saya baru di tahap lari dari kenyataan.
Tanpa Sengaja Disadarkan
Untunglah saya kemudian tersadarkan. Ada satu kejadian kecil yang menyebabkan saya tahu bahwa personal branding yang saya bangun salah.Â
Pada suatu hari seorang penulis muda berbakat bikin status di Facebook. Isinya mengajak gabung penulis ke komunitas penulis yang didirikan oleh seorang tokoh literasi. Tentu ia cantumkan pula syarat dan ketentuan untuk bergabung.
Tokoh literasi tersebut mantan wartawan yang telah kenyang melanglang buana dan kini menjadi dosen tidak tetap di sebuah PTN ternama. Adapun si penulis muda adalah tangan kanannya.
Terdorong oleh keinginan untuk belajar menulis lebih intensif, setelah meneliti persyaratannya pun saya mendaftarkan diri di kolom komentar. Eh, dijawab begini. Baca dulu syaratnya, Kak. Minimal sudah punya dua buku solo ber-ISBN.Â