Yup! Saya to the point saja pada judul di atas. Saya memang sungguh-sungguh benci bila menerima pesan tertulis via WA, yang isinya meminta maaf/mohon maaf lahir batin, tetapi hasil "Diteruskan".
Maksudnya, pesan yang saya terima bukanlah hasil ketikan (apalagi buah pikiran) si pengirim pesan, melainkan ia comot dari pesan orang lain, kemudian dikirimkan ke saya mentah-mentah tanpa diolah secuil kata pun.
Saya tidak bersikap suuzon. Namun, jelaslah itu mentah-mentah sebab saya melihat tanda panah yang menunjukkan itu hasil terusan. Mendingan copas. Kalau copas 'kan malah tak ada tanda panahnya. Kalau isi pesannya unik dan keren, bisa-bisa saya malah menyangka kalau itu bukan hasil copas.
Mengapa saya benci ucapan permohonan maaf (meskipun permohonan maaf dalam rangka ucapan Idulfitri) Â hasil "Diteruskan"? Karena menurut pemikiran saya, Â hal demikian mengesankan bahwa si pengirimnya kurang serius dalam memberikan ucapan mohon maaf lahir batin.
Jadi, pesan yang dikirimkan terkesan sebagai pesan sambil lalu. Cuma nyomot ucapan dari internet. Demi kepentingan formalitas belaka. Tidak ada upaya sedikit pun untuk menyunting, padahal dengan sedikit usaha menyunting pun sudah dapat memberikan hasil beda. Â
Lhah? Minta maafnya itu serius atau tidak? Ucapan Idulfitrinya itu sungguh-sungguh atau tidak? Pikiran saya 'kan malah suuuzon begini jadinya.
Bagi saya, kalau merasa lelah dan tak sanggup menyusun kalimat sendiri, tidak usah repot-repot memaksakan diri begitu. Tak perlu mengeksiskan diri melalui kirim-kirim ucapan mohon maaf lahir batin segala.
Atau, kalau hasrat eksis demikin membuncah, pilih saja opsi copas. Hindari "meneruskan" pesan ucapan. Pokoknya jangan main vulgar seperti kirim-kirim pesan yang "diteruskan".
Perlu diketahui bahwa respons saya terhadap modelan pesan ucapan "diteruskan" itu tetap sopan meskipun diliputi rasa benci. Namun, ya sangat pendek, yaitu "idem, ya". Atau, sekadar emoticon senyum. Begitu saja.
Jadi, Kompasianer sekalian jangan membayangkan kalau respons saya bakalan mencak-mencak emosional. Oh, tidak. Saya memilih bersikap elegan, dong. Hehehe ....
O, ya. Kebencian saya tersebut berangkat dari pemahaman bahwa permohonan maaf merupakan upaya untuk menghapus bekas luka di hati. Jadi, seformalitas apa pun maksud pengiriman ucapannya, hambokyao jangan dengan cara "Diteruskan".
Kita Tak Diperintahkan Meminta Maaf
Sudahlah. Kalau memang berniat memberikan ucapan permintaan maaf ya yang serius. Lagi pula, Allah SWT tidak memerintahkan kita untuk meminta maaf, kok.
Menurut M. Quraish Shihab, dalam Alquran nyaris tidak ditemukan perintah untuk meminta maaf. Mengapa demikian? Karena idealnya meminta maaf tidak perlu diperintahkan. Orang yang merasa bersalah hendaknya serta-merta meminta maaf. Dengan setulus hati, tanpa basa-basi sedikit pun.
Memang tak mudah. Akan tetapi, kalau ingin selamat dunia akhirat dan tak tertahan di pintu gerbang ketika akan memasuki surga, kita wajib menurunkan ego di hadapan orang yang kita mintai maaf.
Susah? Bisa jadi. Sebab meminta maaf itu sama dengan mengakui kalau diri ini telah melakukan kesalahan. Jelas kondisi demikian tak mudah. Jatuhnya bisa rumit. Terlebih bila ego tinggi dan merasa tak bersalah. Terlebih lagi kalau pada kenyataannya, kita memang tak bersalah.
Karena itulah kita dikasih peringatan terlebih dulu untuk tak gampang menggores luka-luka di hati orang/pihak lain. Hati kalau sudah luka tak bakalan balik seperti semula, lho. Ibarat kaca retak.
Maka tak jarang, ada orang yang sangat enggan memberikan maaf kepada orang yang telah menyakitinya. Tentu keadaan begini berbahaya dunia akhirat bagi si peminta maaf.Â
Namun, Allah SWT Maha Pengertian dengan memerintahkan kita agar menjadi manusia pemberi maaf. Seperti halnya Rasulullah SAW yang selalu memaafkan orang yang membenci dan menyakiti perasaannya.Â
Rasulullah SAW pun mengajarkan kepada kita untuk tetap berbuat baik kepada orang lain meskipun orang tersebut membalasnya dengan kejahatan.
"Adalah Rasulullah SAW orang yang paling bagus akhlaknya: beliau tidak pernah kasar, berbuat keji, berteriak-teriak di pasar, dan membalas kejahatan dengan kejahatan. Malahan beliau pemaaf dan mendamaikan" (H.R. Ibnu Hibban).
Yeah? Perkara dimaafkan/memaafkan ini memang pelik. Jadi supaya hidup kita yang ruwet ini tak ketambahan ruwet, mari hindari saja bersikap ngawur.Â
O, ya. Sekali lagi, kita mesti berhati-hati dalam berkirim-kirim pesan ucapan mohon maaf lahir batin. Jangan sampai cari praktis dan malah mengabaikan sopan santun, serta perasaan si penerima pesan. Kita sama-sama ingin menjadi makhluk pemaaf 'kan?
Salam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H