Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sound Of Borobudur: Kepadamu Kami Titipkan Masa Depan Candi Borobudur

11 Mei 2021   23:27 Diperbarui: 11 Mei 2021   23:38 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Replika alat musik dari relief Candi Borobudur (Dokumen SoundofBorobudur.org)

Serpihan Memori 

Saya lahir dan tumbuh besar di Jawa Tengah. Tepatnya Jawa Tengah bagian pantura yang mepet wilayah Jawa Timur. Yang berarti berjauhan lokasi dengan Candi Borobudur.

Candi keren itu 'kan berada di Jawa Tengah bagian selatan. Berdekatan dengan DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampai-sampai hingga sekarang tetap banyak yang salah paham, mengira Candi Borobudur berada di Yogyakarta (Hmm, sabar ya orang-orang Jawa Tengah ....).

Maka piknik ke Candi Borobudur bersama teman-teman sekolah menjadi sesuatu yang memorable. Berfoto di depan stupa, bahkan pakai acara memanjat-manjatnya, menjadi kelaziman tatkala itu. Apakah peduli pada deretan reliefnya? Tentu tidak.

Yeah? Puluhan tahun kemudian saya baru sadar bahwa cara piknik kami di situs bersejarah tersebut sungguh barbar. Memalukan.

Selepas SMA saya melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Entah di liburan kuliah pada semester berapa, bersama tiga kawan saya sengaja banget melancong ke Candi Borobudur.

Kami naik bus umum. Bawa bekal makan siang dan camilan dari rumah (hanya saya yang dari kos) agar ngirit. Adapun barang bawaan terpenting adalah kamera saku milik saya.

Kiranya kamera saku itulah motivasi terbesar kami buat melancong. Iyes. Kami berencana pepotoan sepuasnya di Candi Borobudur dan sekitarnya. Alhamdulillah rencana berjalan mulus dan lancar jaya.

Apakah kami peduli pada deretan reliefnya? Tentu saja jawabannya tidak. Kami sekadar menjadikan relief sebagai latar belakang berfoto dan sedikit mengamatinya dengan kurang antusias. Kabar baiknya, kami tidak berpose barbar dengan memanjat-manjat stupa.

Dinamika Persepsi 

Sejak saya kecil hingga dewasa, ternyata secara umum ada satu persamaan terkait polah tingkah orang-orang ketika berpiknik di Candi Borobudur. Apa persamaan yang dimaksudkan itu? Tak lain dan tak bukan, perihal ketidakpedulian pada relief. Kondisi ini menyedihkan.

Namun rupanya ada yang lebih menyedihkan, yaitu dari tahun ke tahun malah kian marak imbauan untuk tidak lagi berkunjung ke candi. Alasannya, haram.

Saya tak bakalan lupa dengan teguran keras seorang kenalan, tatkala beliau melihat foto saya dalam aneka pose sopan-berbudaya di depan sebuah candi. Tegurnya, "Kenapa tampak bangga di tempat pemujaan berhala?"

Gawat! Pola pikir sempit serupa itu sungguh berbahaya. Mengapa dahulu biasa saja, kini jadi mempersulit diri? Sementara di luar masalah keimanan, candi mengabarkan tentang peradaban suatu bangsa.

Kalau dinamika persepsi ke arah salah tersebut dibiarkan berlangsung, masa depan warisan budaya bangsa kita yang berupa candi sungguh terancam. Berbahaya! Saya pun diam-diam merasa ngeri dan pesimis.

Saat Sound of Borobudur Terdengar Gaungnya  

Lalu, tibalah saatnya saya mendengar kehadiran Sound of Borobudur. Setelah mencari tahu banyak hal tentangnya, pesimisme saya pun perlahan-lahan meredup. Saya sangat antusias dan mendukung sepenuh jiwa terhadap upaya-upaya yang dilakukan Gerakan Sound of Borobudur tersebut.

Apa alasannya? Sebab Sound of Borobudur melalui kerja kerasnya selama lima tahun terakhir, telah sukses menegaskan bahwa Candi Borobudur tak sekadar benda mati warisan masa silam. Justru sebaliknya, Candi Borobudur terkhusus melalui deretan reliefnya yang mencantumkan tradisi bermusik pada abad ke-8, dibikin "hidup".

Yup! Untuk tahap awal, Sound of Borobudur telah sukses menunjukkan bahwa dahulu Borobudur Pusat Musik Dunia. Yang kini menjelma jadi salah satu elemen Wonderful Indonesia.

Punggawa Sound of Borobudur telah bekerja keras untuk meneliti, membuat replika alat-alat musik yang terdapat dalam relief, mereka-reka bunyi dan komposisi nadanya, kemudian memainkannya dalam sebuah pertunjukan utuh.

Membuatnya relevan dengan selera generasi sekarang sehingga generasi muda ini terpikat duluan. Nah! Kalau sudah terpikat, kelak besar kemungkinan akan tergerak untuk merambah relief selain musik.

Selain musik? Iya. Sebab Sound of Borobudur tidak lahir dalam rangka membentuk sebuah grup musik. Sound of Borobudur lebih dimaksudkan sebagai bunyi peradaban bangsa kita. Sebagai pemantik ide untuk bidang-bidang lain, agar mampu pula "menghidupkannya" di hadapan khalayak era zaman now.

Candi Borobudur adalah warisan masa lalu. Pada masa kini, sepenuhnya menjadi milik generasi sekarang. Yang berarti bebas kita pelajari, bahkan kita tafsirkan ulang data-data yang terpahat di deretan reliefnya. 

Untuk selanjutnya, dari hasil penafsiran baru tersebut, kita kelak bakalan punya sesuatu untuk mewarisi generasi masa depan. Generasi yang kita titipi asa untuk mampu melestarikan warisan peradaban nenek moyang yang bernama Candi Borobudur.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun