Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Buku-buku Ini Mereduksi Kecemasan Saya terhadap Pandemi

3 Mei 2021   13:56 Diperbarui: 3 Mei 2021   13:57 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase buku-buku yang saya ulas di blog (Dokpri)

Tak terasa sudah lebih dari setahun kita hidup berdampingan dengan Covid-19. Waktu yang semula mendadak melambat, sekarang pelan-pelan kembali bergulir dengan kecepatan menuju normal.

Bagaimanapun kehidupan wajib dilanjutkan walaupun dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Iya. Kita tengah memasuki era kenormalan baru.  

....

Ketika Indonesia dinyatakan pandemi Covid-19, pada medio Maret 2020 lalu, pastilah perasaan saya tak jauh beda dengan perasaan orang-orang pada umumnya. Panik. Gugup. Khawatir. Tidak tahu harus melakukan apa untuk menghadapi pandemi, yang seketika saja eksis di depan hidung.

Begitulah adanya tatkala itu. Semua orang dilanda kecemasan. Takut tertular Covid-19. Terlebih saat kenalan dan kerabat ada yang tertular. Rasanya si virus asli Wuhan itu kian dekat saja dengan kita.

Tingkat kecemasan masing-masing orang tentu berlainan. Tergantung pada ketangguhan mental dan pengetahuan tiap orang terhadap objek yang menyebabkan kecemasan. Jika tingkat kecemasan tersebut diukur dengan pelevelan 1-10, kecemasan saya berada di level 8.

Hmm. Lumayan tinggi. Syukurlah kemudian saya berhasil turun level. Pastilah turunnya tidak otomatis. Ada upaya-upaya yang telah saya lakukan. Di antaranya dengan mencari informasi yang benar tentang Covid-19 dan menenggelamkan diri dalam bacaan.

Ketika wacana lock down marak dan gerakan stay at home sedang kencang-kencangnya, tak ada pilihan bagi saya selain patuh. Terlebih saya hanya pekerja lepas, Tak kerja kantoran. Bukan pebisnis juga.

Jadi pandemi enggak pandemi, aktivitas saya memang terpusat di rumah. Kalau tak punya urusan yang mengharuskan keluar rumah, saya pastilah tak ke mana-mana. Yup! Sebagai blogger dan editor lepas yang sesekali menulis, WFH (Work From Home) sebenarnya sudah biasa saya lakukan.

Hanya saja, masalah terjadi ketika saya sedang jenuh di dalam rumah. Pada hari-hari sebelum pandemi, saya biasa berkunjung ke Malioboro. Sekadar untuk berjalan-jalan atau jajan di mal. Berhubung harus stay at home, refreshing sederhana tersebut tak mungkin dilakukan.

Ya sudah. Rebahan kemudian menjadi jalan ninja baru bagi saya. Terlebih undangan-undangan kegiatan untuk blogger, yang memang cenderung butuh kerumunan, mendadak zero. Klop. Rebahan manakah lagi yang dapat dihindari? Hehehe ....    

Apa tidak sibuk mendampingi anak sekolah daring? Tentu saja mendampingi. Namun, anak saya sudah mandiri dan jauh lebih paham peranti sekolah daring daripada saya. Jadi, ia sekadar butuh diingatkan dan dimotivasi bila sedang meredup semangatnya. Tidak perlu diajari tiap mata pelajarannya.

Hingga suatu pagi ....

Saya iseng membereskan rak buku anak. O la la! Rupanya banyak koleksi novelnya yang belum saya baca. Selanjutnya, saya pun teringat pada buku pinjaman yang belum sempat saya baca. Alhasil, saya terinspirasi untuk mengganti jalan ninja lagi. Rebahan saya coret tebal-tebal. Adapun gantinya: membacai buku-buku yang di masa sebelum pandemi tak kunjung sempat saya baca. 

Syukurlah semangat hidup saya utuh lagi. Terlebih saya kemudian menyadari bahwa hasil pembacaan buku-buku tersebut bisa dijadikan tulisan pengisi blog.

Pada foto di atas tampak novel Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono), RIJSTTAFEL Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1946 (Fadly Rahman), TOTTO CHAN'S CHILDREN A Goodwill Journey to the Children of the World (True Story) (Tetsuko Kuroyanagi), dan novel Sunset & Rosie (Tere Liye).

Tema buku-buku tersebut beraneka rupa. Jenisnya pun ada yang fiksi, ada pula yang nonfiksi. Persamaannya, semua mentrasfer energi positif sehingga pikiran saya yang semula didominasi berita-berita tentang Covid-19, kemudian bergeser fokus ke tema-tema buku.

***

Novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono (SDD) yang saya baca ini terbitan Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2019, cetakan ke-18. Laris, ya? Nama SDD memang magnet, kok. Jumlah halamannya 138. Tidak tebal, tetapi isinya sangat menuntut pembaca untuk berpikir.

Tepatnya memikirkan kembali mengenai keindonesiaan kita; melalui kisah cinta Sarwono dan Pingkan. Adapun Sarwono dan Pingkan merupakan pasangan beda agama beda suku bangsa. Nah! Tema berat begini berfaedah sekali dalam upaya mengusir kecemasan akibat pandemi.

Betapa tidak berat kalau dialog sepasang kekasih itu memaksa saya membongkar ingatan lama terhadap Musashi karya Eiji Yoshikawa? Juga terhadap  Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa THE RELIGION OF JAVA karya Clifford Geertz. Ckckckck!

***

RIJSTTAFEL Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1946 yang disusun oleh Fadly Rahman, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2016. Saya bersyukur akhirnya sukses menuntaskan buku hasil pinjaman ini. Tak terlalu tebal sebenarnya. Hanya 152 halaman.

Buku yang semula skripsi ini cukup komplet. Darinya pengetahuan saya mengenai sejarah kuliner Indonesia bertambah.

***

TOTTO CHAN'S CHILDREN A Goodwill Journey to the Children of the World (True Story) karya Tetsuko Kuroyanagi, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2016. Isinya tentang perjalanan sang penulis ke berbagai belahan dunia untuk menjumpai anak-anak yang tak beruntung hidupnya. Anak-anak tersebut antara lain berada di Tanzania, Sudan, Kosovo, Uganda, Rwanda, Bosnia-Herzegovina. Buku ini sekuel dari TOTTO CHAN Gadis Cilik di Jendela. 

Buku ini ibarat menegur saya yang mengeluh hanya sebab diminta tinggal di rumah. Sementara sebosan-bosannya tinggal di rumah akibat pandemi, jelas jauh lebih nyaman ketimbang kehidupan anak-anak yang ditemui Tetsuko Kuroyanagi.

***

Novel Sunset & Rosie karya Tere Liye, terbitan Mahaka Publishing tahun 2018, cetakan ke-22. Hmm. Sejauh ini di luar segala nyinyiran yang menyerangnya, Bang Tere Leye tetaplah penulis laris. Sementara yang nyinyirin, entahlah menulis juga atau tidak. Hehehe ....

O, ya. Sunset & Rosie ini mengajak pembaca untuk menikmati hidup, seburuk apa pun kondisinya. Sebab sebenarnya, ada banyak cara untuk menikmati hidup. Huft. Nyambung lagi dengan kondisi terkini. Motivasi hidup saya pun kembali meninggi setelah baca novel ini.

***

Tak tanggung-tanggung teracuni oleh bacaan si ABG, di kemudian hari saya bahkan ikutan PO karya Tere Liye terbaru, terbitan Gramedia Pustaka Utama, November 2020, SELAMAT TINGGAL. Sejujurnya PO sebab kepo, sih. Selamat tinggal untuk siapa? Tentang apa?

Ternyata SELAMAT TINGGAL mengkritik tajam para pelaku bisnis pembajakan buku yang menggurita. Yang pada dasarnya mencuri, tetapi tak sadar (atau tak mau sadar) bahwa bisnis mereka merupakan kejahatan yang terbungkus slogan keren: membantu penyediaan buku murah berkualitas.

Selamat Tinggal pun telah saya ulas di blog (Dokpri)
Selamat Tinggal pun telah saya ulas di blog (Dokpri)
Wah! Sebuah tema yang nyambung banget dengan PR dunia penerbitan Indonesia selama sekian lama. Yang entah kapan hendak dituntaskan. Terusterang saja, baca buku ini malah membuat saya mikir serius sehingga lupa kalau sedang berhadapan dengan si covid-19.   

***

Pertengahan Agustus 2020 saya mendapatkan pekerjaan sebagai editor, dalam projek penyusunan modul literasi dan numerasi, di salah satu kementerian. Praktis sejak saat itu sampai Januari 2021 fokus saya bekerja.

Namun, di sela-selanya saya masih berusaha menjaga konsistensi membacai buku-buku yang belum terbaca. Alhamdulillah, sejauh ini kategorinya lumayan berhasil memegang erat konsistensi tersebut.   

Hmm. Ternyata membaca buku-buku seru dan keren adalah sebuah terapi kejiwaan yang mengasyikkan. Dapat menghibur sekaligus menambah wawasan plus pengetahuan. Hingga akhirnya, kecemasan saya yang membuncah akibat pandemi, pelan-pelan tereduksi.

Kiranya pendemi merupakan saat yang tepat untuk kembali ke buku. Seiring dengan melimpahnya waktu luang kita akibat #dirumahsaja ....

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun