SORE hari Ramadan 1440 H, puasa hari keempat, saya melangkah penuh harapan ke mushala X. Harapan apa? Harapan bahwa pengajian jelang berbuka puasanya bisa mencerahkan dan menyejukkan jiwa. Bisa kembali menguatkan tekad saya untuk menjadi muslim yang lebih baik dan benar.
Alhamdulillah saya tidak telat datang. Nyaris telat saja. Begitu saya duduk, doa-doa pembuka pun mulai dilantunkan. Iya, iya. Saya akui bahwa saya datang lebih belakangan daripada sang ustazah. Hehehe  ....
Usai berdoa, pengajian dimulai. Kata sang ustazah, "Sebetulnya saya hendak membahas tentang shalat. Tapi katanya tema shalat sudah disampaikan kemarin, ya? Ya sudah kalau begitu. Kita membahas hal lain saja."
Para jamaah manggut-manggut. Menyatakan setuju tanpa kata. Tentu termasuk saya. Bagi kami selaku jamaah, yang penting ada tausiah. Yang tentunya bisa mengingatkan diri ini untuk senantiasa berproses menjadi muslim yang baik dan benar.
Sang ustazah kemudian melanjutkan, "Baik. Ini saja. Kita bahas tentang kondisi belakangan ini saja. Yang mau tak mau ibu-ibu wajib mengetahuinya. Iya. Bagaimanapun ibu-ibu memang wajib tahu."
Deg! Hati saya berdesir. Perasaan saya mulai tidak enak.
"Saya ingin mengajak ibu-ibu untuk memperbanyak zikir. Banyak berdoa semoga kita mendapatkan pemimpin yang amanah bla-bla-bla ...."
Fix! Perasaan tidak enak saya mulai terbukti.
"Situasi negara kita bla bla bla ...."
Selanjutnya dari lisan sang ustazah meluncur serentetan narasi tentang kecurangan pilpres 2019. Tentang ratusan petugas KPPS yang meninggal, yang diyakini betul oleh beliau bahwa matinya diracun. Tentang nasib UBN yang konon dikriminalisasi, dicari-cari kesalahannya sebab vokal menyuarakan suara umat. Dan, isu-isu provokatif lainnya.
Ya Allah, Ya Tuhanku. Kenapa begini lagi begitu lagi? Saya 'kan ke mushala untuk menentramkan hati. Untuk menambah ilmu dan wawasan keagamaan. Â Aku mengeluh dalam hati.