Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Keputusan untuk "Pergi"

28 Agustus 2018   14:50 Diperbarui: 28 Agustus 2018   15:14 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kisah tentang menemukan tujuan,
ke mana hendak pergi,
melalui kenangan demi kenangan masa lalu,
pertarungan hidup-mati,
untuk memutuskan ke mana langkah kaki akan dibawa.
Pergi.

SEDERET kalimat di atas tercantum di halaman belakang novel Pergi karya Tere Liye. Hmm. Terkesan filosofis dan semiotis. Demikian gumam saya spontan, dalam hati, tatkala membaca deretan kalimat tersebut.

Kemudian pada detik selanjutnya, saya terperangkap rasa heran dan penasaran.

 Mengapa heran? Mengapa penasaran? Sebab selama ini---saya yang relatif awam dengan karya Tere Liye---ternyata telah terprovokasi. Yakni terprovokasi aneka komentar bernada nyinyiran mengenai karya-karyanya.

Iya. Saya akui, selama ini saya cenderung ikut percaya bahwa karya-karya Tere Liye hanya cocok untuk kaum ABG alay.

Kebetulan pula aneka kutipan dari karya-karyanya, yang mampir di linimasa Facebook saya, semua bernada syahdu merdu merayu.

Jadi wajar 'kan, bila kemudian saya meyakini bahwa semua novelnya menye-menye habis? Maklumlah. Sejujurnya saya memang bukan pembaca (apalagi penggemar) karya-karya Tere Liye.

Maka begitu menemukan Pergi dan membaca sampul belakangnya, saya penasaran bin heran. Benarkah isi bukunya seserius kutipan di sampulnya? Jangan-jangan isi bukunya ternyata menye-menye? Bisa dibaca sambil lalu saja tanpa perlu konsentrasi tinggi? Demikian saya membatin sebelum memutuskan untuk membaca buku tersebut.

Dan faktanya, Pergi sama sekali tidak menye-menye. Justru sebaliknya, menceritakan sesuatu yang amat serius. Yakni lika-liku kehidupan para penguasa shadow economy dunia. Mulai dari persekongkolan hingga perseteruan di antara para penguasa shadow economy tersebut.

Bahkan komplet dengan aneka trik dalam mengelabui khalayak umum, jika suatu ketika terjadi peperangan terbuka di antara  mereka.  

Tiap-tiap tim keluarga shadow economy mampu bekerja secepat dan serapi mungkin demi menghapus jejak peperangan.

Selain itu, mereka mampu pula mengalihkan perhatian. Dengan demikian khalayak umum tak menyadari, peristiwa apa yang sebenarnya barusan terjadi. Yang disaksikan khalayak umum mungkin berupa kebakaran mendadak di sebuah gedung.

Padahal kenyataannya, kebakaran itu sengaja dibikin sebagai pengalih perhatian. Sementara peristiwa yang sesungguhnya berupa peperangan antarkeluarga para penguasa shadow economy dunia.

Dalam Pergi dikisahkan ada 8 keluarga yang menjadi penguasa shadow economy dunia. Keluarga-keluarga tersebut tersebar di seantero planet bumi sesuai dengan wilayah kekuasaan masing-masing. Tiap keluarga pun memiliki markas pusat dan sederet tukang pukul profesional.

Iya. Saya pikir Pergi merupakan sebuah novel yang serius. Betapa tidak serius, coba? Alih-alih menyuguhkan cerita yang manis romantis mendayu-dayu. Pergi malah berkisah tentang kerasnya dunia, di balik kerasnya dunia. Ngeri! Misalnya nih, ya.

Di balik peperangan antarnegara yang tak kunjung usai, yang dinanti-nanti perdamaiannya oleh masyarakat dunia, ternyata ada keluarga shadow economy yang diuntungkan.

Yakni diuntungkan  sebab kedua negara yang berperang sama-sama membeli senjata dari pabrik milik keluarga shadow economy tersebut. Karena diuntungkan, wajar-wajar saja kalau peperangan antarnegara itu malah "dipelihara".

Memang sih, yang diceritakan dalam Pergi bukanlah diangkat dari kisah nyata. Meskipun beberapa hal, mungkin saja benar-benar telah atau sedang terjadi di dunia nyata.

Dengan demikian, pembaca bisa sekaligus menambah wawasan pengetahuan mengenai shadow economy. Sekaligus mendapatkan informasi bahwa segala peristiwa yang terlihat tidaklah selalu persis sama dengan peristiwa yang sesungguhnya.  

Akan tetapi, ada sesuatu yang jauh lebih penting. Pergi sesungguhnya ibarat seseorang yang mencoba mengingatkan. Yang berusaha menggedor kesadaran khalayak bahwa apa pun bisa terjadi dalam kehidupan ini.

Meskipun ada hitam dan putih sebagai simbol dari keburukan dan kebaikan, kenyataannya banyak orang/hal yang setengah-setengah. Campuran antara hitam dan putih, antara jahat dan baik hati. Terjebak dalam situasi yang belum memungkinkan untuk memilih. Entah apa pun alasan dan penyebabnya.

Norma agama dan norma sosial memang telah memberikan rumusan sahih perihal orang baik dan orang buruk (jahat). Tapi kenyataannya, tidak semua orang dimudahkan untuk memilih menjadi salah satunya. Kiranya itulah yang dinamakan suratan takdir.

Sebagaimana halnya Bujang (tokoh utama Pergi) yang mewarisi darah hitam dari sang ayah dan darah putih dari sang ibu.

Dalam Pergi, pada akhirnya Bujang dikisahkan meletakkan jabatannya sebagai Tauke Besar Keluarga Tong. Rupanya setelah sekian lama ia merasa lelah dan hampa.

Setelah melewati sekian banyak peristiwa bersama salah satu dari keluarga shadow economy itu, Bujang memutuskan "pergi". Berhenti dari hiruk pikuk persaingan dunia yang telah membesarkan namanya. Ya. Bujang pergi untuk menemukan tujuan hidup yang sesungguhnya. Yang sebenarnya telah dicari-carinya.

Yeah .... Bagaimanapun Pergi telah kembali mengingatkan saya untuk tak serta-merta menghakimi seseorang terkait dengan perilaku dan perbuatannya.

Terlebih jika tidak tahu pasti apa alasannya melakukan perbuatan tersebut. Sepintas lalu bisa jadi perbuatannya tampak jahat dan buruk. Tapi siapa tahu ada misi mulia yang melatarbelakanginya? Iya 'kan?

Jangan lupa. Selalu ada potensi malaikat dan potensi iblis dalam diri manusia. Dan, keduanya pasti senantiasa bertarung untuk saling mengalahkan. Bisa jadi hari ini seseorang yang jahat bakalan menjadi super baik di kemudian hari. Atau sebaliknya, seseorang yang alim malah berakhir sebagai manusia jahat.

Meskipun kesalahan ketik atau typo-nya lumayan bikin gemas, secara umum kesan saya positif terhadap buku ini. Meskipun pula, saya agak kesulitan dalam memahami latar belakang para tokoh ceritanya. Maklumlah. Pergi merupakan sekuel dari Pulang. Sementara saya belum membaca Pulang.


SPESIFIKASI BUKU
Judul: Pergi
Penulis: Tere Liye
Co-author: Saripuddin
Penerbit: Republika Penerbit
Tahun Terbit: 2018
Ukuran Buku: 13, 5 x 20,5 cm
Tebal Buku: iv + 455 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun