Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dampak Buruk Sistem Zonasi PPDB bagi Kami

13 Juli 2017   08:30 Diperbarui: 13 Juli 2017   17:31 9429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Photo: smpn1tellulimpoe

BEBERAPA jam sebelum hari H pengumuman, yaitu hari ini,  saya punya keyakinan bahwa anak saya akan diterima di SMPN pilihan utamanya. Tentu saya tak sekadar yakin. Tapi yakin berdasarkan pertimbangan atas berbagai aspek terkait. Terutama sebab NUN-nya 25 koma sekian dan berada di urutan ketinggian yang aman. .

Lalu alamat domisili kami, yang tercantum di Kartu Keluarga, berada di wilayah yang sama dengan alamat sekolah tujuan. Sama-sama berada di wilayah kodya Yogyakarta. Situasi ini merupakan salah satu modal tenang saya dalam menunggu hasil seleksi PPDB SMP tahun ajaran ini. 

Sejak awal saya yakin bahwa anak saya bakalan diterima di SMPN. Melalui jalur reguler sebab kami memang bukan pemegang kartu bantuan jenis apa pun. Ya, feeling saya kuat karena aspek-aspek terkaitnya memang terpenuhi. Andaikata tak lolos di SMPN pilihan utama, pasti lolos di SMPN pilihan keduanya. Itulah sebabnya saya tidak mendaftarkannya ke SMP swasta mana pun.

Jika dibandingkan dengan para tetangga yang senasib, yang anaknya sama-sama baru lulus SD, saya memang terlihat paling santai. Lhamau bagaimana lagi? Saya toh tak perlu mengurus surat ini-itu untuk keperluan berlakunya kartu bantuan. Cukup mempersiapkan berkas-berkas yang didapat dari sekolah plus Kartu Keluarga.

Ndilalahpula waktu pendaftaran jalur reguler lebih belakangan. Yang didahulukan adalah mereka yang mendaftar lewat jalur khusus. Yakni jalur KMS dan zonasi (jarak dari rumah ke sekolah). Dan kiranya sudah menjadi suratan takdir bahwa anak tetangga sebelah rumah, yang punya NUN paling rendah (hanya 17, 15) di antara peserta PPDB di kampung kami, malah nasibnya paling jelas duluan. Sejak Ramadan lalu dia sudah dipastikan lolos di SMPN X. Tentu dengan berbekal KMS plus surat pernyataan zonasi. Dan di kemudian hari, kami ngeh bahwa dia lolos---terutama--sebab sistem zonasi.

The power of bejo melingkupi bocah tersebut. Keputusan kemendikbud dalam memberlakukan sistem zonasi sangat menguntungkannya. Menyelamatkan orang tuanya sehingga mereka tak perlu keluar banyak uang untuk menyekolahkannya di SMP swasta. Dia dan orang tuanya pun bisa berbangga hati karena bersekolah di SMPN X yang termasuk keren di zona tersebut. Kemendikbud boleh berbangga sedikit sebab pada poin yang ini programnya/kebijakannya "terlihat" sukses besar. Hanya saja banyak hal yang luput dipertimbangkan....

Kemendikbud pasti tidak tahu kalau lolosnya anak tersebut di SMPN X telah menimbulkan kecemburuan sosial. Bikin orang tua sesama penerima kartu bantuan bersungut-sungut. Mereka bertanya-tanya, mengapa bocah tersebut bisa lolos? Pertimbangan zonasinya sama, kartu bantuan yang dimiliki sama, mengapa malah dia yang lolos? Padahal, NUN anak-anak yang lainnya jauh lebih tinggi. Rata-rata sekitar 20-21. Alhasil, para orang tua yang anak-anaknya tidak lolos pun menggerutu pol-polan. Melakukan suuzon massal kepada pihak sekolah, menganggap sekolah pilih kasih.

Yang paling dahsyat adalah yang terjadi di kampung sebelah. Ada empat anak yang rumahnya saling berdekatan. Keempatnya ikut mendaftar di SMPN yang sama. Sama-sama melalui jalur kartu dan zonasi. Tapi ternyata yang lolos hanya satu orang. Demi mendengar kabar ini, orang tua ketiga anak yang tak lolos mengajukan protes ke pihak sekolah. Isi protes mereka, "Mengapa hanya seorang yang diterima, sementara lokasi rumah keempatnya bersebelahan? Mengapa pula yang diterima malah yang jumlah NUN-nya paling sedikit?"

Demi meredam huru-hara, si anak yang diterima tadi dianulir. Dia batal diterima. Akibatnya, si bocah yang bersangkutan kecewa dan orang tuanya gantian meradang. Saya paham bahwa penganuliran demikian sangat menyakitkan. Tapi saya pun memaklumi protes yang diajukan.

Usut punya usut, sistem zonasi memang menyeleksi calon siswa berdasarkan urutan nilai yang terendah. Makin rendah NUN seorang anak, makin besar kemungkinannya lolos seleksi bila alamatnya memang dekat dengan sekolah. Maka tidak mengherankan jika belakangan, sekitar dua hari sebelum pengumuman hasil seleksi PPDB reguler, seorang tetangga jauh sukses bikin anak saya retak hati.

Ceritanya begini. Suatu sore tatkala anak saya sedang berada di teras rumah, si tetangga jauh kebetulan melintas. Dia pun bertanya, anak saya diterima di SMPN mana. Setelah dijawab, tanpa basa-basi dan tanpa pertimbangan psikologis sama sekali dia mencerocos. "Kamu rugi 'kan punya nilai bagus? Sekarang tuh punya nilai jelek asalkan jarak rumah ke sekolah dekat, ya langsung diterima. Si A tuh sudah tenang-tenang dari dulu sebab lolos SMPN X. Dia berlebaran dengan lega. Kalau kau masih mikir 'kan sampai sekarang?"       

Sadis 'kan? Sama sekali tak melihat bahwa lawan bicaranya seorang bocah yang baru lulus SD. Sebetulnya saya sendiri membenarkan apa yang dicerocoskan itu. Tapi saya sengaja tidak mengemukakannya kepada anak. Saya justru menekankan kepadanya bahwa lolos sebab punya NUN tinggi selalu lebih baik daripada yang lolos dengan keberuntungan kartu dan zonasi. Saya tidak mau anak saya menyesal telah belajar keras jelang ujian.  Itulah sebabnya saya kesal setengah mati pada si tetangga yang mencerocos tadi.  

Sejujurnya saya sempat merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem nonreguler dalam seleksi PPDB. Mengapa justru jalur reguler masa pendaftaran dan pengumumannya paling akhir? Mengapa jadwalnya tidak disamakan saja supaya deg-degannya barengan? Penyelenggara mungkin akan kerepotan bila berbarengan. Tapi sudah risiko 'kan? Tentu bisa diupayakan demi keadilan bagi seluruh peserta seleksi PPDB.

Kalau sistemnya seperti sekarang, anak-anak yang punya NUN tinggi malah serasa tidak dihargai. Hasil belajar keras mereka mendadak tak berarti karena sistem zonasi yang justru mengutamakan NUN rendah. Zonasi ya, zonasi. Tapi mestinya seleksi tetap berdasarkan nilai yang tertinggi, dong.  

Ya sudahlah. Apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur. Prosesi PPDB telah selesai. Perselisihan di antara warga masyarakat telah terjadi. Anak-anak peserta seleksi PPDB pun sudah ada yang retak hati. Yang menyedihkan, semua yang telah terjadi itu tak bakalan terlupakan. Pada saat PPDB tahun depan pasti pihak-pihak yang terlibat perselisihan gara-gara sistem zonasi akan terkenang PPDB tahun ini. Saya dan anak saya juga. Sebuah kenangan yang tak menyenangkan ....

Syukurlah NUN anak saya aman meskipun lewat jalur reguler. Jadi, saya tak perlu pusing-pusing dan merasa iri pada yang lolos di jalur zonasi. Tapi saya amat memaklumi betapa geramnya orang tua yang nilai anaknya nanggung. Tak lolos ke sekolah negeri melalui sistem zonasi sebab NUN kurang rendah, tapi sangat kecil kemungkinan lolos untuk bersaing di jalur reguler (dan faktanya memang tak lolos). Sudah begitu aneka kartu bantuan pun tak punya. Padahal, dana untuk bersekolah di sekolah swasta yang bagus terbatas. Ujung-ujungnya ya asal masuk sekolah. Nah 'kan. Malah jadinya mereka yang nanggung-nanggung ini yang jadi korban. Diperlakukan tidak adil.

Tampaknya  kemendikbud  kurang mempertimbangkan dampak buruk yang serupa ini. Kebijakan diberlakukan tanpa sosialisasi dan tanpa survei mendetil. Maunya meringankan rakyat, tapi caranya justu memancing perselisihan di antara sesama warga masyarakat.

Ya, tulisan ini memang dirangkum berdasarkan pengalaman dari orang-orang di sekitar saya. Dari ruang lingkup yang kecil saja. Tapi saya yakin, yang terdampak sistem zonasi PPDB tak hanya orang-orang di sekitar saya. Di luaran sana tentu juga banyak. Jadi, apa salahnya kalau dipertimbangkan ulang pelaksanaannya?

--Tinbe YK--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun