Sadis 'kan? Sama sekali tak melihat bahwa lawan bicaranya seorang bocah yang baru lulus SD. Sebetulnya saya sendiri membenarkan apa yang dicerocoskan itu. Tapi saya sengaja tidak mengemukakannya kepada anak. Saya justru menekankan kepadanya bahwa lolos sebab punya NUN tinggi selalu lebih baik daripada yang lolos dengan keberuntungan kartu dan zonasi. Saya tidak mau anak saya menyesal telah belajar keras jelang ujian. Â Itulah sebabnya saya kesal setengah mati pada si tetangga yang mencerocos tadi. Â
Sejujurnya saya sempat merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem nonreguler dalam seleksi PPDB. Mengapa justru jalur reguler masa pendaftaran dan pengumumannya paling akhir? Mengapa jadwalnya tidak disamakan saja supaya deg-degannya barengan? Penyelenggara mungkin akan kerepotan bila berbarengan. Tapi sudah risiko 'kan? Tentu bisa diupayakan demi keadilan bagi seluruh peserta seleksi PPDB.
Kalau sistemnya seperti sekarang, anak-anak yang punya NUN tinggi malah serasa tidak dihargai. Hasil belajar keras mereka mendadak tak berarti karena sistem zonasi yang justru mengutamakan NUN rendah. Zonasi ya, zonasi. Tapi mestinya seleksi tetap berdasarkan nilai yang tertinggi, dong. Â
Ya sudahlah. Apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur. Prosesi PPDB telah selesai. Perselisihan di antara warga masyarakat telah terjadi. Anak-anak peserta seleksi PPDB pun sudah ada yang retak hati. Yang menyedihkan, semua yang telah terjadi itu tak bakalan terlupakan. Pada saat PPDB tahun depan pasti pihak-pihak yang terlibat perselisihan gara-gara sistem zonasi akan terkenang PPDB tahun ini. Saya dan anak saya juga. Sebuah kenangan yang tak menyenangkan ....
Syukurlah NUN anak saya aman meskipun lewat jalur reguler. Jadi, saya tak perlu pusing-pusing dan merasa iri pada yang lolos di jalur zonasi. Tapi saya amat memaklumi betapa geramnya orang tua yang nilai anaknya nanggung. Tak lolos ke sekolah negeri melalui sistem zonasi sebab NUN kurang rendah, tapi sangat kecil kemungkinan lolos untuk bersaing di jalur reguler (dan faktanya memang tak lolos). Sudah begitu aneka kartu bantuan pun tak punya. Padahal, dana untuk bersekolah di sekolah swasta yang bagus terbatas. Ujung-ujungnya ya asal masuk sekolah. Nah 'kan. Malah jadinya mereka yang nanggung-nanggung ini yang jadi korban. Diperlakukan tidak adil.
Tampaknya  kemendikbud  kurang mempertimbangkan dampak buruk yang serupa ini. Kebijakan diberlakukan tanpa sosialisasi dan tanpa survei mendetil. Maunya meringankan rakyat, tapi caranya justu memancing perselisihan di antara sesama warga masyarakat.
Ya, tulisan ini memang dirangkum berdasarkan pengalaman dari orang-orang di sekitar saya. Dari ruang lingkup yang kecil saja. Tapi saya yakin, yang terdampak sistem zonasi PPDB tak hanya orang-orang di sekitar saya. Di luaran sana tentu juga banyak. Jadi, apa salahnya kalau dipertimbangkan ulang pelaksanaannya?
--Tinbe YK--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H