Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Pilkada dan Pilkadawisku

11 Maret 2017   14:33 Diperbarui: 11 Maret 2017   14:38 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gegap gempita pilkada telah mereda. Meskipun ada yang mesti menempuh putaran kedua, secara umum situasinya tidak segegap gempita sebelumnya. Itu menurut anggapan dan penilaian saya pribadi, lho. Namun di sisi lain, saya juga yakin bahwa “kehangatan” pilkada belum sepenuhnya sirna.

Berita kehebohan pilkada memang berkurang. Tertimpa oleh aneka keriuhan pemberitaan yang lain. Tapi pihak-pihak yang terlibat langsung, tentunya masih sibuk menyelesaikan banyak hal terkait pilkada tersebut. Pihak yang akan menempuh putaran kedua ya bersiap untuk pilkada ulang. Yang menang ya bersiap untukmenjadi pemimpin baru. Sementara yang kalah, (semoga saja) bersiap untuk mengabdi kepada rakyat melalui jalur lain.

Idealnya pihak yang kalah dalam pilkada memang bersikap legawa. Berbesar jiwa dalam menerima kekalahannya. Kecewa tentu boleh-boleh saja. Manusiawi. Akan tetapi mestinya, jangan sampai kekecewaan itu berujung pada pencarian kambing hitam. Yakni kambing hitam yang (diduga) menjadi penyebab kekalahan. 

Apa boleh buat? Kenyataannya, pihak yang kalah pilkada memang ada yang betul-betul kalah sebab dicurangi. Sementara ada pula yang sesungguhnya beneran kalah, tapi merasa dicurangi. Lalu menuduh sana sini, yang ujung-ujungnya menimbulkan kegaduhan baru. Situasi pun makin gaduh manakala pihak-pihak yang dituduh merasa tidak terima. Dan selanjutnya, malah gantian menuduh.  

Duh!Sejujurnya saya capek mendengar berita-berita serupa itu. Mendengar saja capek.Apalagi kalau harus menyimak dengan serius. Mungkin karena pada dasarnya saya kurang antusias terhadap berita-berita politik. Atau, karena mendengar semua itu bikin saya merasa hilang arah. Merasa terjebak dalam pusaran ketidakjelasan situasi.

Dalam situasi yang tidak jelas begitu, keawaman mengenai dunia politik membuat saya takut. Yakni takut terjebak di antara fakta dan fitnahan. Betapa tidak takut? Bagaimana kalau saya telanjur percaya pada fakta-fakta yang dikemukakan oleh salah satu pihak, lalu membela pihak tersebut mati-matian? Dan tahu-tahunya, semua itu bukan fakta melainkan fitnahan? Pasti akan runyam sekali jadinya.

Sekali lagi, apa boleh buat? Pilkada selalu saja gegap gempita. Banyak pihak yang merasa berkepentingan atasnya. Tiap-tiap peserta pilkada ingin menang. Tak ada yang ingin kalah. Sangat berbeda halnya dengan pilkadawis (= pemilihan ketua dasawisma) di lingkungan tempat tinggal saya. Dalam pilkadawis tersebut, masing-masing peserta justru tak ingin menang. Bahkan sesungguhnya, tak ada yang maumendaftarkan diri sebagai peserta. 

Mengapa pilkadawis kami tak segegap gempita pilkada? Menurut saya, penyebabnya ada dua. Pertama, ruang lingkupnya jauh lebih kecil. Kedua, tidak menjanjikan keuntungan finansial ataupun kekuasaan yang keren. Sebab sama sekali tak menjanjikan sesuatu (kecuali pahala), wajar kalau antusiasme terhadapnya minim. Tak ada yang berminat untuk mencalonkan diri sebagai peserta pilkadawis. Alih-alih mencalonkan diri. Kalau bisa justru menghindar sejauh mungkin agar tak dicalonkan. 

Rupanya tak ada yang merasa berkepentingan dengan pilkadawis kami. Termasuk saya sendiri. Padahal,  sebuah dasawisma butuh ketua. Karena kehadiran ketua is a must, seseorang mesti dipaksa untukmenjadi ketua. Dipaksa dengan cara dipuji-puji, diangkat-angkat sisi baiknya,dan diperlihatkan aneka kebaikannya.  Hmmm. Andaikata dalam pilkada terjadi hal yang demikian, kira-kira apa jadinya ya? 

Lalu,sang ketua terpaksa (bukan terpilih) dengan semena-mena akan menunjuk dua oranguntuk membantunya sebagai sekretaris dan bendahara. Setelah itu bla-bla-bla, dengan serius disepakati bahwa dua tahun yang akan datang bakalan dilakukan pilkadawis lagi. Alasannya supaya semua anggota merasakan posisi tertinggi di dasawisma. Mulia sekali alasannya, ya? Andaikata dalam pilkada juga berlaku alasan sepertiini …. 

Ketika dua tahun telah berjalan, jadwal pilkadawis pun kembali tiba. Sang ketua-sekretaris-bendahara sangat antusias menyambutnya. Maklum saja. Sebentar lagi tugas dan kewajiban mereka sebagai penanggung jawab dasawisma akan berakhir. Jika kembali menjadi anggota biasa, berarti kesibukan mereka akan berkurang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun