Namun, jangan biarkan suka menjadi tirani bagi duka. Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa kebanyakan anak semester 5 yang merasa salah jurusan juga mengalami duka yang mendalam.Â
Duka, karena mereka mungkin sudah menghabiskan waktu dan upaya begitu besar di jurusan yang tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka.Â
Mungkin mereka terjebak dalam ekspektasi orang tua atau tekanan sosial, tanpa cukup ruang untuk mendengarkan suara hati mereka sendiri.
Dan di sinilah kita sebagai masyarakat harus hadir. Sebagai teman, keluarga, atau bahkan sesama mahasiswa. Mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan tanpa syarat.Â
Kita harus menciptakan ruang di mana anak semester 5 merasa aman untuk berbicara tentang perasaan mereka, tanpa takut dicap sebagai pecundang atau lemah.
Penting untuk diingat bahwa sistem pendidikan sering kali hanya memberikan dua opsi: benar atau salah. Padahal, kehidupan sejati kita tidak dapat diukur dengan parameter semudah itu. Kesalahan jurusan di semester 5 bukan akhir dari segalanya.Â
Sebaliknya, itu adalah awal dari babak baru dalam perjalanan kita. Mungkin kita perlu melihatnya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dengan pengalaman baru, membangun jaringan yang lebih luas, atau bahkan menggali ke dalam bisnis yang selama ini hanya menjadi impian.
Di balik setiap kisah kegagalan, selalu tersembunyi potensi besar untuk sukses. Pergeseran jalur kadang-kadang adalah jawaban dari pertanyaan yang belum terucap. Kita bisa melihatnya sebagai proses alamiah di mana kita dapat menemukan tujuan dan makna sejati dari perjalanan kita.
Di Indonesia, di mana tekanan untuk sukses dan memilih jurusan yang dianggap bergengsi sering kali menjadi beban yang teramat berat, kita perlu menggagas dialog baru.Â
Dialog yang membuka ruang bagi anak semester 5 untuk berbicara tentang ketidakpastian mereka tanpa takut dicap sebagai pribadi yang gagal. Dialog yang merangkul keraguan sebagai bagian penting dari eksistensi kita, bukan sebagai tanda kelemahan.