Mohon tunggu...
Agustijanto Indrajaya
Agustijanto Indrajaya Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog

tinggi 160 cm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uniknya Arca Naga di Situs Bale Kambang, Batang, Jawa Tengah

13 Juni 2018   22:37 Diperbarui: 13 Juni 2018   23:42 2365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situs Bale Kambang (Dokumentasi pribadi)

 Hari ini Kali Kuto menjadi perhatian publik terutama para pemudik, sehubungan dengan dibukanya jembatan Kali Kuto untuk jalur mudik di daerah pantura.  Namun tahukah anda  bahwa dahulu sekitar 1300 tahun yang lalu, Kali Kuto sudah menjadi jalur bagi masuknya pengaruh Hindu Buddha ke pedalaman Jawa Tengah?  Adalah Bale Kambang sebuah petirtaan di tepi pantai, Gringsing, Batang dapat disebut sebagai entri point bagi masuknya Hindu-Buddha ke pedalaman Jawa pada sekitar abad ke-7 M.  

Kronologis situs Bale Kambang ini didasarkan pada temuan prasasti Balekambang (dikenal juga sebagai prasasti Bendosari) berbahan batu yang berukuran 85 x 44 x 34 cm, kondisi rusak terbelah dua dan sekarang tersimpan di Museum Ranggawarsita (MR 04,00076 dan 04.00078) di Semarang.  Prasasti ini terdiri dari lima baris teks ditulis dalam huruf Pallava dan bahasa Sansekerta.  

Secara paleografi, Soekarto Atmodjo memasukan prasasti ini berasal dari abad ke-6 M. (Goenadi Nitihaminoto 1978: 19). Prasasti Balekambang baru-baru ini diteliti oleh Arlo  Griffiths (2012: 474-477) berdasarkan perbandingan paleografi dengan prasasti Kalasan maka inskripsi pada prasasti Balekambang ditempatkan pada paruh kedua abad ketujuh.  Griffiths juga menambahkan bahwa gaya penulisan prasasti Balekambang memiliki kemiripan dengan prasasti Sojomerto.

Posisi petirtaan Bale Kambang yang sangat strategis karena berada tidak jauh dari muara Sungai Kuto, tampaknya sudah berperan sebagai tempat penyediaan air tawar bagi kapal-kapal yang berlayar melewati pantai utara Jawa pada masa itu.    Tidak heran bangunan candi yang melengkapi keberadaan petirtaan menjadi bukti bahwa petirtaan memang sudah dikenal dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal yang berlayar.  

Dalam tulisan kali ini saya tidak igin membicarakan bukti bukti arkeologis yang mendukung pernyataan Kali Kuto sebagai jalur masuknya Hindu-Buddha pada periode pre-Mataram Kuna, tetapi hanya ingin membahas temuan sepasang arca naga yang tingginya mencapai 1 meter yang kini terserak di situs Bale Kambang.  Terserak karena arca ini memang tidak mendapat perhatian serius sehingga satu arca sudah diberi kepala baru sedangkan yang lainnya dalam kondisi sudah di semen.

 Arca Naga Bale Kambang (Dokumentasi pribadi)
 Arca Naga Bale Kambang (Dokumentasi pribadi)
Temuan arca naga setinggi satu meter termasuk unik di Jawa tengah karena tidak banyak arca naga yang ditemukan di Jawa Tengah apalagi setinggi itu.  Kehadiran arca Naga selama ini  selalu dihubungkan dengan yoni, dwarapala dan beberapa figure di dalam cerita relief.  Naga pada yoni selalu diletakkan di bawah cerat bersama sama dengan kura-kura (kurma), kadang naga digambarkan di bawah kura-kura (kurma) atau sebaliknya.  

Naga sebagai dwarapala atau arca penjaga tempat suci keagamaan memang dikenal di dalam kesenian Hindu.  Istilah dwalapala berasal dari kata sangsakerta dvar yang berarti pintu masuk/ gerbang dan pala artinya penjaga sehingga arti secara keseluruhan adalah penjaga pintu gerbang atau pintu masuk.  Dwarapala adalah pelindung tempat tinggal dewa, posisinya berada di antara wilayah sakral dan profane, atau berada di batas daerah kurang sakral- sakral.   

Naga memang identik dengan air dalam posisinya sebagai penjaga air kehidupan dalam konsepsi Hindu.  Oleh karena itu kehadiran sepasang arca naga di petirtaan sebagai penjaga sumber air yang dianggap suci menjadi sangat relevan.

Di luar itu Naga jarang ditampilkan.  Ada beberapa temuan Naga pada periode jawa Tengah yang berhasil dicatat antara lain, Naga ditemukan pada Makara-Naga Candi Bubrah, Candi Merak, dan Candisari, (Temanggung). Naga di belakang makara di Candi Pringapus, Jaladwara Naga dari  Rambeanak, (Magelang),  Kala- Naga di Candi Umbul, (Magelang)  Terkait dengan Kala-Naga dari Candi Umbul memang kondisinya saat ini sudah beralih fungsi menjadi penghias pada pipi tangga masuk ke dalam petirtaan, namun ada kemungkinan dahulu di situs ini pernah berdiri sebuah candi yang menggunakan ragam hias Kala- Naga pada ambang pintu masuk.   

Dengan demikian tidaklah benar jika ragam hiasan Kala-Naga baru muncul pada periode Jawa Timur .  

 Kala- Naga situs Umbul, Magelang (Dokumentasi pribadi)
 Kala- Naga situs Umbul, Magelang (Dokumentasi pribadi)
Selain itu, dua arca naga juga dilaporkan pernah ditemukan di Candi Dieng.  Dari pengamatan ikonografi, arca Naga Candi Dieng sangat mirip dengan naga yang ditemukan di Situs Bale Kambang., tetapi dari segi ukuran, jelas tidak dapat disamakan, karena jelas lebih kecil

   Arca Naga Dieng (Dokumentasi pribadi)
   Arca Naga Dieng (Dokumentasi pribadi)
Masalahnya Naga sebagai dwarapala di Nusantara tidaklah populer seperti arca raksasa atau mahakala/ nandiswara.  Pada masa Mataram kuna dan bahkan sampai Majapahit, Naga selalu digunakan untuk menghiasi /penyangga cerat pada yoni.  .Naga Bale Kambang secara ikonografi lebih dekat ke periode Jawa Tengah, namun dilihat dari ukuran dan kemungkinannya tampak lebih kepada periode Jawa Timur yang merepresentasikan ular di dalam arsitekturnya.  

Pada periode Jawa Timur, Naga dipresentasikan cukup menyolok, Naga dibuat dalam ukuran yang besar seperti yang ditemukan di  Candi Naga , komplek Candi Panataran, yang dihubungkan dengan cerita Samudramanthana yakni kisah pencarian air Amerta (air kehidupan).

Candi Naga, Panataran (Dokumentasi pribadi)
Candi Naga, Panataran (Dokumentasi pribadi)
Satu temuan arca Naga di museum Trowulan lebih mirip dengan arca Naga Bale Kambang jika dilihat dari ukurannya yang mencapai tinggi 1 meter tetapi gaya kedua arca ini jauh berbeda.  Naga masa Majapahit tampak lebih raya dibandingkan dengan naga periode Jawa Tengah. 

 Naga di Museum Trowulan (Dokumentasi pribadi)
 Naga di Museum Trowulan (Dokumentasi pribadi)
Jadi tidaklah benar jika dikatakan ragam hias naga baru muncul pada periode Jawa Timur, kenyataannya pada periode Jawa Tengah pun , ragam hias Naga sudah muncul hanya saja tidak terlalu populer. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun