Ini bukan guyonan, aku serius lho. Lantas, apakah kita hanya akan berpangku tangan? Apakah hari ibu adalah symbol? Celebrasi yang memang aku rasa nggak ada manfaatnya jika “Maternal Care” tidak kita perbaiki. Celebrasi tak akan mengubah apapun bung, tunjukkan kepedulianmu akan pencapaian penurunan Angka Kematian Ibu minimal menjadi 100/100.000 kelahiran, kalo bisa jadi 0/100.000 kelahiran walaupun saya rasa itu mustahil.
Keselamatan ibu adalah tanggung jawab semua manusia, bukan Cuma dokter, bidan, perawat dan suami. Tapi adalah kewajiban dari semua manusia yang memang masih memiliki nurani.
Perjuangan Ibuku
Overall, aku terima kasih banget sama ibuku yang sudah susah-susah melahirkan aku. Mengandung selama 9 bulan 10 hari (walaupun nggak mungkin setepat itu), kalo kata ibuku rasa melahirkan itu sakit banget dan ibuku dapet banyak jahitan. Didalam rumah peninggalan Belanda (yang kini jadi balai kecamatan) tua yang kata ayahku kalo ada angina putting beliung langsung roboh.
Tak cukup itu, ibuku juga dulu kena komplikasi pascanatal dan juga kena babyblues syndrome. Sehingga dirawat dirumah sakit dalam waktu yang lama. Jadi nggak ada alasan untuk membantah dan mengecewakan ibuku. Selanjutnya, ayah menyuruh ibuku yang sewaktu itu udah jadi PNS Guru untuk berhenti menjadi PNS dikarenakan ayahku ingin ibuku focus mengurus anaknya.
Dulu ibuku juga pernah jadi single parents selama bertahun-tahun, ketika ayahku disekolahkan ke Swiss oleh kementrian pekerjaan umum. Waktu itu aku masih kecil banget, usia baru 4 tahun. Kemana-mana jalan sama ibu, sampe aku pernah jatuh dan kepalaku berdarah. Siapa yang bawa kerumah sakit? ibu juga toh. Hingga saat ini memang cerita-cerita kenangan di masa kecil ketika hidup masih dipangkuan ibu sangatlah menyenangkan dan membuat haru.
Skip ke masa SD ketika ayahku diambil oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) untuk menangani pembangunan didaerah tertinggal, kembali ibu jadi single parent. Aku tau banget kalo ibu itu nggak mengendarai sepeda motor. Lalu apa yang terjadi? Ibu belajar naik motor buat nganter aku ke sekolah dulu. Jalan motornya pelan banget sampe-sampe kalo ada orang lari bisa saja menyusul motor yang dikendarai ibu. Trus, kami juga pernah nyunsep ke got/parit, untung aja nggak masuk ke sungai musi.
Masih ingat juga nggak kalo dulu aku di kelas 1 SD adalah anak terbelakang? Yah, orang-orang sering bilang aku idiot. Kalo nggak salah aku ranking 26 dari 26 orang siswa. Kemudian ibu yang saat itu mengambil rapot nggak marah sama sekali, ibu malah memberikan semangat bahwasanya kamu pasti bisa. Setiap tahun begitu, beliau tak pernah menuntut untuk dapet nilai besar, sudah mau sekolah aja syukur. Walaupun hingga akhirnya aku bisa selalu menjadi ranking 3 besar dikelas. Itu semua atas kebaikan ibu.
Dulu ayah sibuk banget sama Golkar, tiap beberapa bulan dia pergi mengikuti kegiatan golkar. Yah, ibu nggak pernah protes, nggak pernah terlihat didepan kami kalo ibu sedih ataupun marah. Melihat wajah yang selalu mengalah itupun tak pernah juga membuat kami tega untuk menanggis atau bahkan buat bertanya kemana ayah.
Saat aku kelas enam SD sampai kelas 2 SMP ibu kembali jadi single parent, semua peran harus dia mainkan. Mengurusi tiga anaknya, dan membuat kami untuk tidak bertanya kemana ayah? Ya, kalo kita ceritakan perjuangan ibu nggak ada habis-habisnya.
Pekerjaan yang tak pernah libur. Ibu bekerja 24 jam sehari, 7 hari satu minggu, 30 hari satu bulan, bahkan 365 atau 366 hari setahun. Tanpa digaji lho? Nggak ada waktu istirahat, dia boleh makan ketika orang yang dicintainya sudah makan. Dia nggak bisa tidur ketika ada bayi yang menanggis, kita yang rewel ketika ingin meminta sesuatu kepadanya. Ditambah lagi anaknya sering buat olah, dia akan berdoa ketika suatu saat anakku bisa menjadi manusia yang berguna.