Ditengah posisi perekonomian dunia yang mengalami stagnan, dan kebutuhan untuk mendapatkan kepastian keberpihakan dukungan, maka tidak salah jika penulis agak apriori pada kebijakan ini. Bagaimana tidak? Setiap akan dilangsungkannya ajang demokrasi terbesar di negeri ini, Umat Islam selalu menjadi target utama dari para politisi guna meraup dukungan suara. Suara Umat Islam dianggap mampu mendongkrak elektabilitas para calor Presiden yang akan bertarung di Pemilu 2019.Â
Tak terkecuali Petahana saat ini, Presiden Jokowi. Sikap pesimis penulis atas kebijakan Ekonomi Umat akan dapat bertahan dan menjadi sebuah kebijakan strategis pun semakin besar, karena selama satu bulan terakhir ini, Petahana kerap melakukan kegiatan seremonial yang ujung-ujungnya mengeksploitasi relasi antara Petahana dengan Umat Islam.Â
Ini bisa jadi akan menyesatkan. Dan ujung-ujungnya, jika kebijakan Ekonomi Umat menjadi jargon yang 'dijual' untuk mendapatkan dukungan dari Umat Islam, maka pertanyaannya, apakah Umat Islam sedemikian bodohnya hingga mau begitu saja memberikan dukungannya tanpa ada imbal balik kebijakan yang jelas bagi Umat Islam?
Ada baiknya, pemerintah mulai melakukan intropeksi sebelum menggelontorkan dana sedemikian besar untuk kegiatan-kegiatan yang pada akhirnya nanti tidak bersifat sustain (berkelanjutan). Pola-pola sinterklas dalam mengoperasionalkan kebijakan Ekonomi Umat harus dirubah menjadi lebih terukur, dinamis dan mampu menjawab perkembangan jaman.Â
Secara taktis, kebijakan Ekonomi Umat harus benar-benar didesain sedemikian rupa layaknya dalam mendesain sebuah kebijakan jangka panjang. Para penerima dampak dari kebijakan Ekonomi Umat harus diseleksi betul kelayakannya untuk mendapatkan program. Demikian juga lembaga yang menjadi penjaminnya; harus ada otentifikasi atas catatan panjang keterlibatan lembaga-lembaga ini dalam kebijakan-kebijakan sejenis. Alih-alih mendapatkan dukungan, bisa-bisa yang terjadi nantinya adalah dana macet atau bahkan bantuan yang diserahterimakan hilang begitu saja tanpa ada kejelasan.Â
Hemat penulis, dua mata pisau yang ada pada Kebijakan Ekonomi Umat ini harus benar-benar diuji dan dianalisis resikonya. Tidak hanya sebatas memberikan bantuan secara simbolis lalu kemudian mendapatkan pencitraan di media, tetapi kopong dalam pelaksanaan. Belum terlambat sebenarnya untuk melakukan ini semua. Jalan panjang menuju kesejahteraan ekonomi memang terjal, tapi itu bukan tidak mungkin. Dan (Pemerintah) Indonesia harus bisa melakukannya. Semoga.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI