Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kementerian Agama, Tantangan Global Abad-21 dan "Useless Class Citizen"

25 Maret 2019   08:46 Diperbarui: 25 Maret 2019   11:11 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kompas.com

Melihat bertubi-tubi peristiwa koruptif yang terjadi di lingkungan Kementerian Agama, rasa-rasanya alokasi anggaran APBN super jumbo menjadi tidak berarti dan mubasir. Institusi yang mestinya bertugas sebagai garda depan penjaga moral dan ahklak, malah menjadi yang terdepan sebagai perusak moral dan akhlak. 

Yang mestinya memberi kontribusi dalam peningkatan nilai spiritual masyarakat agar menjadi baik,  malah menyuplai kotoran dan sampah perilaku ke tengah masyarakat. Yang mestinya memberi contoh penggunaan anggaran secara amanah, malah memberi contoh pengelolaan serakah.

Anggaran tahun 2019 yang sebesar 62,1 triliun itu ternyata tidak mampu menebar kebenaran dan kebaikan, malah membuat para elitnya silau mata dan mempertontonkan kebejatan tingkahnya. Anggaran besar tersebut tidak mampu menjual gagasan besar revolosi mental, malah hanya sekadar mempertontonkan jual-beli jabatan.

Peristiwa koruptif dan manipulatif yang terjadi di institusi negara 'penjaga moral'ini, kalau tidak segera dicarikan solusi, maka akan membekukan sikap masyarakat untuk semakin apatis terhadap gerakan perbaikan moral. Bahkan bisa mendorong masyarakat untuk ikut-ikutan bertindak hal yang sama. 

Masyarakat akan cenderung mementingkan diri sendiri dengan mencari celah demi kentungan pribadi dengan berbagai cara, termasuk cara tercela sekalipun. Perilaku ini sangat bertolak belakang dengan tekad Indonesia untuk menyongsong era Industri 4.0 yang serba digital di abad 21.

Lalu apa hubungannya keberadaan Kementerian Agama dengan tantangan global abad 21? Tidak terlalu berhubungan sih...... Tapi nanti bisa dihubung-hubungkan di bagian penutup, hehehe.

Artificial Intelligence Merubah Segalanya.

Seperti banyak telah diprediksi oleh para pakar, bahwa ekonomi abad ke-21 akan banyak tergantung dari penguasaan teknologi informasi yang berbasis algoritma. Kegiatan-kegiatan ekonomi, yaitu produksi dan jasa yang semula dikerjakan oleh manusia, akan semakin banyak diambil alih oleh  artificial intelligence atau kecerdasan buatan.

Sebenarnya fenomena pengambilalihan tenaga kerja dari manusia ke teknologi kecerdasan buatan ini sudah banyak dipikirkan, dikawatirkan dan coba dicarikan solusi oleh beberapa negara maju. Pertanyan mendasar dalam menghadapi ekonomi abad ke-21 ini adalah: Apa yang harus dilakukan terhadap semua orang yang kehilangan pekerjaan ini?

Kalau melihat sejarah masa lalu, yaitu revolusi industri akhir abad 18, awalnya pemakaian tenaga mesin uap juga diprediksi akan banyak mengambil alih tenaga manusia saat itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Angkatan kerja meningkat drastis. Revolusi industri melahirkan berbagai jenis pekerjaan baru bagi manusia. Kelas pekerja muncul di era itu. Berbagai teknologi yang memudahkan pekerjaan manusia banyak bermunculan hingga abad ke-20. Semuanya menciptakan lapangan kerja baru bagi manusia.

Sepertinya penemuan teknologi yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi memberi berkah kepada umat manusia untuk lebih makmur. Banyak pekerjaan baru tercipta. Ekonomi meningkat. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut sebagian besar berfungsi untuk mempermudah manusia melakukan pekerjaannya, bukan menggantinya. Peran manusia masih dibutuhkan untuk menjalankan sekaligus mengontrolnya.

Namun, pada abad ke-21 ini, mulai banyak digunakan artificial intelligence yang berbasis algoritma dan big data untuk menjalankan banyak kegiatan ekonomi. Teknologi yang semula hanya bersifat membantu, kemudian berkembang dan mengambil alih pekerjaan manusia. Ini disebabkan algoritma yang ditanamkan ke dalam produk teknologi mempunyai kecerdasan melebihi manusia. Selain itu, juga memiliki kecepatan, ketepatan dan kekuatan yang jauh di atas manusia. 

Ini menimbulkan pertanyaan paling penting dalam ekonomi abad ke-21: Apa yang harus dilakukan terhadap semua orang yang tidak berguna karena tidak ada pekerjaan buat mereka, sebagai akibat mesin algoritma yang sangat cerdas dapat melakukan hampir semua hal secara lebih baik dibanding manusia?

Sebenarnya, ini bukan pertanyaan yang sepenuhnya baru. Orang-orang telah lama khawatir bahwa mekanisasi dapat menyebabkan pengangguran massal. Sebelumnya semua orang yakin dengan siklus bahwa ketika profesi lama menjadi usang dan tidak laku, profesi baru muncul. Selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan manusia secara lebih baik dibanding mesin. Namun, ini bukan hukum alam yang serba pasti. Tidak ada yang menjaminnya bahwa siklus tersebut akan terus seperti itu di masa depan. Gagasan bahwa manusia akan selalu memiliki kemampuan unik di luar jangkauan algoritma hanyalah angan-angan mimpi. Jawaban ilmiah terkini untuk mimpi ini dapat diringkas dalam tiga prinsip sederhana:

1. Organisme adalah algoritma. Setiap hewan - termasuk Homo sapiens - adalah kumpulan algoritma organik yang dibentuk oleh seleksi alam selama jutaan tahun evolusi.

2. Perhitungan algoritma tidak dipengaruhi oleh bahan-bahan dari mana penghitung atau kalkulator dibuat. Tidak peduli apakah sempoa dibuat dari kayu, besi atau plastik, dua manik-manik ditambah dua manik-manik ketemunya akan tetap sama, yaitu empat manik-manik.

3. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa algoritma organik dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat ditiru oleh algoritma non-organik. Selama kalkulasi tetap valid, maka tidak ada bedanya apakah algoritme terbuat dari karbon atau silikon.

Benar, saat ini masih ada banyak hal yang dilakukan algoritma organik lebih baik dibanding non-organik, dan para ahli telah berulang kali menyatakan bahwa beberapa hal akan "selamanya" tetap berada di luar jangkauan algoritma non-organik. Artinya, pekerjaan tersebut hanya bisa dilakukan oleh manusia si algoritma organik.

Namun, ternyata kata "selamanya" sering berarti tidak lebih dari satu atau dua dekade saja. Sebagai contoh, sampai beberapa waktu yang lalu, proses pengenalan wajah yang dilakukan seorang bayi lebih akurat dibanding dengan komputer yang paling canggih saat itu. Akan tetapi, saat ini aplikasi program pengenalan wajah yang tertanam di hand phone mampu mengidentifikasi wajah secara jauh lebih efisien dan cepat dibanding manusia.

Pada tahun 2004, profesor Frank Levy dari MIT dan profesor Richard Murnane dari Harvard menerbitkan penelitian tentang pasar kerja, membuat daftar profesi yang paling mungkin diotomatisasi. Pengemudi truk diberikan sebagai contoh pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan otomatisasi di masa mendatang. Faktanya, hanya 10 tahun kemudian, Google dan Tesla tidak hanya menyangkal penelitian tersebut, tetapi mampu mewujudkannya dengan mencipta kendaraan otomatis, tanpa sopir.

Bahkan, seiring berjalannya waktu, menjadi lebih mudah untuk menggantikan manusia dengan algoritma komputer, bukan hanya karena algoritma semakin pintar, tetapi juga karena manusia menspesialisasi diri sendiri. Pada jaman purba, para pemburu dan pengumpul kuno menguasai berbagai keterampilan yang sangat besar untuk bertahan hidup, itulah sebabnya akan sangat sulit untuk merancang sebuah robot sebagai seorang pemburu dan pengumpul. 

Robot semacam itu harus tahu cara menyiapkan mata tombak dari batu, menemukan jamur yang dapat dimakan di hutan, melacak binatang buruan, mengoordinasikan muatan dengan selusin pemburu lain dan menggunakan tanaman obat untuk membalut luka. Sulit untuk mewujudkan alogritma robot dengan berbagai macam keahlian tersebut.

Namun, seorang sopir taksi atau ahli jantung adalah pekerjaan spesialisasi yang mengkhususkan diri dalam bidang yang jauh lebih sempit dibanding para pemburu dan pengumpul, akan membuat dirinya lebih mudah diganti perannya oleh artificial intelligence. AI hanya perlu mengungguli manusia dalam kemampuan spesifik yang dituntut oleh profesi tertentu, untuk menjadikan manusia menjadi pengangguran dalam bidang profesi tersebut.

Ketika algoritma mendorong manusia keluar dari pasar kerja, maka asset kekayaan dan kekuasaan akan terkonsentrasi ke tangan sekumpulan kecil elit yang memiliki algoritma yang sangat canggih. Hal ini akan menciptakan ketimpangan sosial dan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Untuk mencegahnya, maka sebagai alternatif, system algoritmalah yang diusulkan menjadi pemilik, bukan individu manusia. Ini sejalan dengan hukum manusia yang sudah mengakui entitas intersubjektif seperti perusahaan dan Negara sebagai "badan hukum." 

Contohnya, meskipun Kompas Gramedia atau Indonesia tidak memiliki tubuh atau pikiran, namun mereka tunduk pada hukum internasional, mereka dapat memiliki tanah dan uang, dan mereka dapat menuntut dan dituntut dalam pengadilan.

Jadi, kedepan mungkin sebuah algoritma akan mempunyai status 'badan hukum'. Algoritma kemudian dapat memiliki kerajaan bisnis tanpa harus mematuhi keinginan manusia mana pun. Sebenarnya, sebagian besar planet kita sudah secara hukum dimiliki oleh entitas intersubjektif non-manusia, yaitu bangsa dan korporasi. 

Bahkan ssejak 5.000 tahun lalu banyak tanah dan benda-benda berharga dimiliki oleh para dewa imajiner pujaan manusia. Jika para dewa dapat memiliki tanah dan mempekerjakan orang, mengapa tidak, algoritma mempunyai hal yang sama?

Pertanyaan selanjutnya. Apakah masih ada profesi yang hanya bisa dilakukan oleh manusia? Orang banyak menyebut bahwa profesi sebagai seniman akan memberi kita tempat perlindungan yang aman dan unik dari serbuan algoritma. Orang berpandangan bahwa karya seni tidak melulu butuh sebuah proses algoritma. 

Seni merupakan kristalisasi dalam proses kreativitas yang berorientasi pada nilai rasa. Ketajaman intuisi, imanjinasi yang berinteraktif dalam batin. Bukan sekedar alur suatu proses algoritma.

Namun, di dunia di mana ketika artificial intelligence telah menggantikan dokter, pengemudi, guru, dan bahkan pemilik entitas bisnis, apakah semua orang akan menjadi seniman? Lagi pula sulit untuk membayangkan bahwa karya artistik oleh seorang seniman akan aman dari algoritma. 

Toh fakta sebenarnya, karya seni bukanlah produk dari roh atau jiwa metafisik, tetapi lebih dari algoritma organik yang mengenali pola matematika. Jika demikian adanya, tidak ada alasan bagi algoritma non-organik untuk bisa menguasainya.

 Useless Class Citizen.

Ilustrasi : ideas.ted.com
Ilustrasi : ideas.ted.com
Pada akhir abad ke-18 Revolusi Industri menciptakan proletariat atau  masyarakat kelas pekerja di perkotaan besar yang berkatagori rendah secara sosial. Sosialisme muncul dan menyebar pesat karena berhasil menjawab kebutuhan, harapan, dan ketakutan kelas pekerja yang baru ini. Namun, akhirnya liberalisme mampu mengalahkan sosialisme hanya dengan mengadopsi bagian-bagian terbaik dari program sosialis.

Pada abad ke-21 akan tercipta kelas besar baru yang tidak mempunyai fungsi sama sekali. Orang-orang tanpa nilai ekonomi, politik atau bahkan artistik, yang tidak berkontribusi apa pun bagi kemakmuran, kekuasaan, dan kemuliaan masyarakat. "Kelas tidak berguna" atau useless class ini tidak hanya akan menjadi pengangguran -- mereka memang tidak bisa dipekerjakan.

Pada bulan September 2013, dua peneliti Oxford, Carl Benedikt Frey dan Michael A. Osborne, menerbitkan "The Future of Employment," di mana mereka mensurvei kemungkinan berbagai profesi diambil alih oleh algoritma komputer dalam 20 tahun ke depan, dan mereka memperkirakan bahwa 47 persen pekerjaan di AS berisiko tinggi.

Ada kemungkinan sekitar 99 persen bahwa pada 2033 pekerja telemarketer dan penjamin asuransi akan kehilangan pekerjaannya karena algoritma. Ada kemungkinan 98 persen hal yang sama akan terjadi pada wasit olahraga. Kasir - 97 persen. Koki - 96 persen. Pelayan - 94 persen. Karyawan legal dan ahli hukum - 94 persen. Pemandu wisata - 91 persen. Pembuat roti - 89 persen. Pengemudi bus - 89 persen. Buruh konstruksi - 88 persen. Asisten dokter hewan - 86 persen. Satpam - 84 persen. Pelaut - 83 persen. Bartender - 77 persen. Karyawan bagian pengarsipan - 76 persen. Tukang kayu - 72 persen. Penjaga Pantai - 67 persen.

Tentu saja ada beberapa pekerjaan yang aman. Kemungkinan bahwa algoritma komputer akan menggantikan arkeolog pada tahun 2033 hanya 0,7 persen, karena pekerjaan mereka membutuhkan jenis pengenalan pola yang sangat rumit. Selain itu pekerjaan tersebut tidak menghasilkan keuntungan yang besar, sehingga  tidak ada perusahaan atau pemerintahan yang akan melakukan investasi sangat besar untuk mengotomatisasi arkeologi dalam 20 tahun ke depan.

Yang cukup membuat gelisah orang tua adalah kemungkinan sebagian besar dari apa yang dipelajari anak-anak di sekolah saat ini, tidak akan relevan 20 -- 30 tahun ke depan.

Tentu saja, pada 20-30 tahun mendatang akan ada profesi baru muncul - misalnya, virtual designer. Tetapi profesi seperti ini akan membutuhkan kreativitas dan fleksibilitas yang jauh lebih tinggi  dibanding yang sedang berjalan saat ini, sehingga sulit misalnya seorang kasir atau agen asuransi berusia 40 tahun akan dapat mengubah diri mereka menjadi desainer virtual. Lagi pula, tidak tertutup bahwa algoritma juga akan mengambil alih pekerjaan virtual designer karena bisa melakukan lebih baik dibanding manusia.

Saat ini tidak ada yang tahu bagaimana pasar kerja pada tahun 2030 atau 2040 yang akan datang. Kita pun tidak tahu apa yang harus diajarkan kepada anak-anak kita saat ini untuk menghadapinya. Yang jelas, sebagian besar yang mereka pelajari saat ini di sekolah ,mungkin tidak akan relevan lagi saat mereka berusia 40 - 50 tahun.

Secara tradisional diketahui bahwa kehidupan ini dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu masa belajar, dan diikuti oleh masa kerja. Diprediksi model kehidupan tradisional tersebut akan menjadi usang, dan satu-satunya cara bagi manusia untuk tetap bertahan adalah dengan terus belajar sepanjang hidup mereka dan berulang kali harus memperbaruhi diri kembali. Akan banyak orang yang tidak sanggup melakukannya, dan orang-orang ini akan masuk kedalam golongan manusia tidak berguna alias useless class.

Penutup

Jadi, tantangan terbesar abad ke-21 sekaligus sebagai masalah krusial adalah bukan pada  penciptaan lapangan kerja baru, tetapi bagaimana menciptakan pekerjaan baru yang manusia bisa melakukannya secara lebih baik dibanding algoritma. 

Banyak individu, kelompok masyarakat, organisasi bisnis dan negara, terutama negara-negara maju telah lama memikirkan dan menyiapkan dengan sumber dana yang cukup agar tetap survive mengadapi tantangan global abad 21 ini.

Lalu, bagaimana dengan masa depan Indonesia? Bagaimana dengan persiapan menghadapinya? Ehmmnn, kalau melihat alokasi APBN sepertinya Indonesia belum melakukan apa-apa. Akankah mayoritas masyarakat Indonesia akan menjadi useless class citizen  dan menjadikan negara ini sebagai useless country?

 Nah, di sini peran Kementerian Agama bisa melakukan dua hal. Yang pertama, dengan dana 62 triliunnya menciptakan doa yang sangat mujarab..... Atau....merelakan  yang 62 triliun itu diinvestasikan ke dalam pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi, agar masyarakat dan Negara Indonesia terhindar dari katagori useless class dan  useless country? Setuju!?

Sumber inspirasi : 21 Lessons for The 21st Century - Yuval Noah Harari

Facebook

Artikel Lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun