Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kementerian Agama, Tantangan Global Abad-21 dan "Useless Class Citizen"

25 Maret 2019   08:46 Diperbarui: 25 Maret 2019   11:11 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, seorang sopir taksi atau ahli jantung adalah pekerjaan spesialisasi yang mengkhususkan diri dalam bidang yang jauh lebih sempit dibanding para pemburu dan pengumpul, akan membuat dirinya lebih mudah diganti perannya oleh artificial intelligence. AI hanya perlu mengungguli manusia dalam kemampuan spesifik yang dituntut oleh profesi tertentu, untuk menjadikan manusia menjadi pengangguran dalam bidang profesi tersebut.

Ketika algoritma mendorong manusia keluar dari pasar kerja, maka asset kekayaan dan kekuasaan akan terkonsentrasi ke tangan sekumpulan kecil elit yang memiliki algoritma yang sangat canggih. Hal ini akan menciptakan ketimpangan sosial dan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Untuk mencegahnya, maka sebagai alternatif, system algoritmalah yang diusulkan menjadi pemilik, bukan individu manusia. Ini sejalan dengan hukum manusia yang sudah mengakui entitas intersubjektif seperti perusahaan dan Negara sebagai "badan hukum." 

Contohnya, meskipun Kompas Gramedia atau Indonesia tidak memiliki tubuh atau pikiran, namun mereka tunduk pada hukum internasional, mereka dapat memiliki tanah dan uang, dan mereka dapat menuntut dan dituntut dalam pengadilan.

Jadi, kedepan mungkin sebuah algoritma akan mempunyai status 'badan hukum'. Algoritma kemudian dapat memiliki kerajaan bisnis tanpa harus mematuhi keinginan manusia mana pun. Sebenarnya, sebagian besar planet kita sudah secara hukum dimiliki oleh entitas intersubjektif non-manusia, yaitu bangsa dan korporasi. 

Bahkan ssejak 5.000 tahun lalu banyak tanah dan benda-benda berharga dimiliki oleh para dewa imajiner pujaan manusia. Jika para dewa dapat memiliki tanah dan mempekerjakan orang, mengapa tidak, algoritma mempunyai hal yang sama?

Pertanyaan selanjutnya. Apakah masih ada profesi yang hanya bisa dilakukan oleh manusia? Orang banyak menyebut bahwa profesi sebagai seniman akan memberi kita tempat perlindungan yang aman dan unik dari serbuan algoritma. Orang berpandangan bahwa karya seni tidak melulu butuh sebuah proses algoritma. 

Seni merupakan kristalisasi dalam proses kreativitas yang berorientasi pada nilai rasa. Ketajaman intuisi, imanjinasi yang berinteraktif dalam batin. Bukan sekedar alur suatu proses algoritma.

Namun, di dunia di mana ketika artificial intelligence telah menggantikan dokter, pengemudi, guru, dan bahkan pemilik entitas bisnis, apakah semua orang akan menjadi seniman? Lagi pula sulit untuk membayangkan bahwa karya artistik oleh seorang seniman akan aman dari algoritma. 

Toh fakta sebenarnya, karya seni bukanlah produk dari roh atau jiwa metafisik, tetapi lebih dari algoritma organik yang mengenali pola matematika. Jika demikian adanya, tidak ada alasan bagi algoritma non-organik untuk bisa menguasainya.

 Useless Class Citizen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun