Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kami Ingin "Fesbukan" Lagi, Jangan Zalimi Kami!

13 Januari 2018   13:33 Diperbarui: 13 Januari 2018   18:27 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saat membaca berita tentang rencana mereka untuk mendemo Facebook seminggu lalu, saya sempat tersenyum sinis sendiri. Saat itu saya menduga, mereka cuma main-main dan gertak sambal saja. Tidak terbayang di akal saya bahwa mereka akan benar-benar melakukan hal rendah dan memalukan tersebut.

Namun, ternyata mereka melakukannya juga. Mereka mendemo kantor Facebook perwakilan Indonesia hari Jumat siang, meskipun 'kecele' karena cuma mendemo kantor kosong. Ya, Facebook sengaja meliburkan karyawannya setelah tahu akan ada pendemo datang.

Facebook seperti tidak peduli dan tidak mau menanggapi para pendemo. Hal ini, membuat mereka yang berdemo dan ingin bertemu terpaksa gigit jari. Mereka hanya bisa menitipkan pesan tertulis kepada pengelola gedung tempat Facebook berkantor.

Kalau melihat spanduk-spanduk yang mereka bawa dan juga teriakan-teriakan yang mereka ratapkan sepanjang siang, meski membawa-bawa nama Islam dan Ulama, namun jelas sekali bahwa mereka hanya berteriak tentang diri mereka sendiri. Tentang mereka yang sedang dizalimi. Tentang dakwah kebenaran yang sedang mereka tebarkan. Tentang maksiat dan penista yang sedang mereka lawan.

Selain berteriak, para pendemo sebenarnya juga sedang meratapi diri mereka sendiri. Mereka yang sedang menyuarakan kebenaran, merasa yakin diperlakukan tidak adil dan dizalimi oleh Facebook. Untuk itu, di tengah-tengah ratapan, mereka juga menyuarakan kutukan, bahwa Facebook telah menjadi corong kemaksiatan dan membela penista Islam.

Padahal semua orang waras juga tahu, bahwa mereka jengkel dan melakukan demo semata-mata hanya karena satu alasan, yaitu tidak bisa fesbukan lagi. Ya, mereka terpaksa ramai-ramai dan berpanas-panas datang berdemo hanya agar bisa fesbukan lagi. Mereka buang rasa malu dan harga diri hanya agar bisa kembali "berstatus ria tebar hoak dan provokasi" lagi. Sesuatu kejadian yang sungguh-sungguh menyedihkan dan memalukan bangsa Indonesia.

Mereka yang sebelumnya suka teriak-teriak lantang boikot sana boikot sini, tanpa tanya akal mereka sendiri, langsung loyo begitu diboikot oleh Zuckerberg. Mereka yang teriak lantang menentang melalui status sosial, bahwa LGBT adalah haram, manusia terkutuk, menyalahi kodrat dan berdosa besar, serta lebih rendah dari binatang, langsung terjengkang ketika dinding tempat mereka nulis dipalang oleh sang empunya yang mendukung penuh LGBT.

Mereka yang dulu terlalu baper dan berteriak bahwa agama mayoritas sedang dizalimi, ulama dikriminalisasi, sehingga perlu terus menebar ajakan jihad, bela agama dan bela ulama, langsung terkapar manakala fanspagenya dipagar rapat oleh si Mark.

Kalau direnungkan secara mendalam, sejatinya terdapat perbedaan mendasar antara pendemo dan institusi Facebook. Perbedaan tersebut mengenai pengertian dalam hal persamaan hak, kebebasan berekspresi melalui medsos. Bahkan sepertinya, antara keduanya tidak nyambung.

Institusi Facebook, secara tegas menginginkan agar semua orang yang menggunakan Facebook merasa aman dan nyaman saat mereka berbagi cerita maupun berhubungan dengan teman dan keluarganya. Selain itu, Facebook juga terbuka jika para pengguna berdiskusi mengenai beragam topik dan gagasan, untuk meningkatkan kesadaran akan isu yang penting bagi masyarakat.

Namun begitu, Facebook juga menyatakan punya standar yang sudah ditetapkan untuk mencegah munculnya ujaran kebencian.

Selama ini, para pendemo merasa sudah memberi rasa aman dan nyaman bagi masyarakat lain pengguna Facebook. Mereka juga merasa tidak pernah memunculkan ujaran kebencian.

Sementara itu, menurut institusi Facebook, sekelompok masyarakat yang diboikot dan kemudian demo tersebut adalah para pembuat rasa tidak aman dan tidak nyaman. Bagi Facebook, kelompok ini adalah sumber dari segala ujaran kebencian yang  memang pantas untuk di'delete'.

Terlihat jelas di sini, terjadi perbedaan definisi tentang rasa aman, rasa nyaman dan ujaran kebencian, antara kelompok yang diboikot dan demo, dengan institusi Facebook.

 Saran saya, sebaiknya para pendemo tersebut, bila masih ingin fesbukan, maka belajar lagi tentang arti yang sebenarnya dari kata-kata tersebut, terutama tentang arti ujaran kebencian. Kalau sudah paham, kemudian diterapkan dalam tindakan nyata. Setelah itu, saya yakin, si Yahudi Mark Zuckerberg akan membolehkannya untuk fesbukan lagi. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun