Saya termenung cukup lama sesaat setelah membaca berita tentang 'Drone AS Serang Militan ISIS di Somalia'. Termenung bukan hanya karena ISIS sudah merambah kuat di benua Afrika, namun saya lebih termenung, atau tepatnya tercenung dengan penggunaan drone sebagai alat pembunuh.
Sebenarnya sudah cukup sering mendengar dan membaca berita tentang penggunaan dronesebagai alat pembunuh, namun entah mengapa, rada pedih hati ini ketika membayangkan cara penggunaan drone dan akibat yang ditimbulkannya. Membayangkan hanya dengan sekali pencet pada tombol 'joystick', seseorang mampu membunuh orang lain bahkan meluluhlantakkan sebuah tempat yang ribuan kilometer jauhnya, sungguh mengusik hati nurani.
Apalagi yang dilihat oleh sang pilot drone akibat tindakannya hanyalah berupa munculnya sebuah gumpalan warna hitam di layar komputernya, kemudian diikuti gambar tempat yang terbakar dan porak poranda. Terlihat juga kemudian beberapa titik-titik seperti semut yang bergerak menjauh. Kenyataannya, yang terlihat seperti semut tersebut adalah orang-orang yang masih hidup dan berlari atau sekedar merangkak menjauh dengan ketakutan serta dengan tubuh yang penuh luka.
Perut ikutan mules ketika membayangkan ada dua-tiga orang sedang memainkan game 'perang-perangan' di depan komputer. Saat bersamaan di suatu tempat yang ribuan kilometer jauhnya, mengalami kejadian bencana yang mengerikan. Bangunan beserta orang-orang di dalamnya hancur, luluh lantak akibat jatuhnya bom atau misil dari permainan game tersebut.
Drone, Mesin Pembunuh
Seperti diketahui, drone adalah pesawat tanpa awak. Jadi, penggunaan drone untuk senjata berarti membuatnya seperti pesawat tempur, hanya saja tanpa pilot yang ikut terbang. Setelah drone diterbangkan dari tempat yang bisa menjangkau sasaran, kemudian kontrol diambil alih oleh tim pilot yang mengendalikan drone tersebut melalui jaringan satelit.
Dalam kasus pemboman di Somalia ini, pilot yang terdiri dari dua hingga tiga orang berada jauh dari daerah konflik, tepatnya di darerah gurun, Nevada, AS. Mereka duduk di sebuah ruangan khusus yang kecil dengan layar komputer di depannya. Satu orang menerbangkan drone, sedangkan yang lain bertugas untuk menembakan misil dengan memencet tombol joystick yang digenggamnya.
Melalui layar komputer, mereka menggerakan drone dan mengarahkan misil ke sasaran yang telah ditentukan. Ada juga orang ketiga yang bertugas untuk melakukan komunikasi dengan atasan dan petugas lapangan lainnya.
Drone, Membunuh Nurani sang Pilot
Menurut survey yang dilakukan oleh Angkatan Udara AS, menunjukan bahwa sekitar 46% dari pilot drone Reaper dan Predator menderita stres operasional yang tinggi. Meski begitu, dengan alasan efektifitas, pemerintah AS dan negara-negara maju lainnya akan terus mengembangkan drone sebagai senjata pembunuh yang efisien. Ini artinya, kedepan akan banyak orang-orang memainkan game 'perang-perangan' dengan target nyata.
Yang menggelisahkan penulis adalah, dengan drone terjadi dua pembunuhan sekaligus. Pertama adalah misil yang diluncurkan mampu membunuh secara fisik target sasaran. Yang kedua, drone juga akan membunuh secara perlahan 'nurani' dari para pilot yang menjalankannya. Suatu saat, sang pilot tidak akan merasa bersalah lagi dan menganggap hanya sebagai permainan video game biasa saja.
Penulis masih ingat betul, beberapa tahun lalu saat ramai munculnya game yang mengandung unsur kekerasan dan dimainkan oleh anak-anak. Saat itu banyak orang tua yang mencemaskan pengaruh buruk dari game tersebut terhadap perkembangan emosi anak yang memainkannya, sehingga banyak dari mereka melarang anaknya bermain game tersebut.
Namun saat ini, permainan game yang ada unsur kekerasannya sudah menjadi hal yang biasa. Banyak dari mereka beralasan bahwa itu hanya permainan virtual, tidak terjadi di dunia nyata. Mereka juga beralasan bahwa manusia, termasuk anak-anak haruslah terus mengikuti perkembangan jaman dengan kemajuan teknologinya, agar tidak tertinggal dari yang lainnya.
Bisa dipastikan suatu saat nanti, orang membunuh orang lain dan menghancurkan suatu tempat dari jarak sangat jauh, melalui sebuah permainan video game, akan dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan bisa menjadi sesuatu yang menggembirakan manakala sukses melakukan penghancuran 'musuh' dalam gametersebut. Seperti anak-anak jaman sekarang yang bersorak gembira manakala berhasil menghancurkan musuh dalam permainan video game mereka.
Penutup
Sepertinya perang masa depan adalah perang permainan video game. Indonesia, sebagai bangsa berdaulat sudah semestinya menyiapkan senjata masa depan tersebut dengan segala perangkat lunak dan kerasnya. Pertanyaannya, sudah sampai mana drone kita? Ehhmmmm..... sepertinya itu bukan prioritas deh,.... kita lebih tertarik meningkatkan keimanan kayaknya. Masih banyak perilaku bidah dan haram yang harus diluruskan terlebih dahulu. Semua itu demi masuk surga kelak. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H