Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebenaran Hakiki Tidak Masuk di Akal, Bisa Dirasakan

16 Maret 2017   14:36 Diperbarui: 16 Maret 2017   14:53 3606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto:indonesiaberkarakter.org

Hampir semua orang akan berkata bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila bisa diterima dengan logika. Kebenaran haruslah sejalan dengan akal dan pikiran manusia, sedangkan yang tidak sejalan, bukanlah kebenaran dan tidak selayaknya untuk dituruti.

Dalam hal iman, sering terdengar suara bahwa ajaran agama haruslah sesuai dengan logika dan akal. Agama yang mengajarkan sesuatu yang tidak bisa siterima oleh akal, patutlah dipertanyakan kebenaran ajaran tersebut.

Seperti yang dialami oleh umat Kristen yang mengimani Tuhan Trinitas, satu Tuhan dengan tiga Pribadi dan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Tuhan.  Ajaran seperti ini memang tidak akan masuk di akal manusia. Bagaimanapun manusia memikirkannya, tetap tidak akan masuk akal. Lalu bagaimana menyikapinya?

Kesepakatan Manusia, Kebenaran yang Relatif

Kalau direnungkan lebih dalam, sejatinya di alam raya ini, akal manusia tidak akan mampu menemukan kebenaran yang hakiki. Tidak ada kebenaran hakiki di bumi ini. Yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat relatif dan tafsir-tafsir atau kesepakatan yang dibuat oleh manusia.

Misalnya dalam hal matematika sederhana. Penjumlahan 1+1+1 adalah 3. Jawaban ini adalah jawaban yang benar, karena sesuai kesepakatan yang dibuat manusia, dimana untuk bilangan desimal memang penjumlahan tersebut hasilnya tiga. Akan tetapi, jika menggunakan bilangan biner sebagai acuan, maka 1+1+1 = 11. Jadi jawaban 3 dan 11 adalah benar secara relatif, sesuai acuan atau kesepatan yang dipakai. Jawaban tersebut tidak bisa dianggap sebagai jawaban yang benar secara hakiki.

Semua yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan juga tidak ada kebenaran yang hakiki atau sejati. Cuma ada kebenaran yang bersifat relatif, yang suatu saat bisa dianggap sebagai sesuatu yang salah. Tidak lagi benar.

Pada awal abad pertengahan, bumi berbentuk datar dan juga pusat alam semesta dianggap sebagai suatu kebenaran pada saat itu. Namun, hanya kebenaran ilmiah yang bersifat relatif, yang artinya manusia saat itu, dengan kemampuan akal dan pikiran yang dimiliki bersepakat bahwa bumi datar sekaligus sebagai pusat alam semesta. Jadi, bukan kebenaran sejati atau hakiki.

Kebenaran relatif tersebut berubah menjadi salah ketika Ferdinand Magellan beserta anak buahnya berlayar mengelilingi bumi dan ketika Nicolaus Copernicus yang kemudian dikuatkan oleh Galileo Galilei membuktikan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya dan bukannya Bumi.

Berlanjut pada abad 19, manusia dengan akal dan pikirannya juga meyakini akan kebenaran bahwa alam semesta adalah tetap dan dalam keadaan stabil (Steady State), hingga ‘Huble Space Telescope’ membuktikan bahwa alam semesta ternyata mengembang dengan kecepatan yang sangat besar.

Kemudian muncul teori big bang, yang saat ini masih dianggap sebagai suatu kebenaran untuk menjelaskan bahwa alam semesta mempunya awal berupa titik singularitas, yang berukuran amat sangat kecil namun amat sangat padat. Titik singularitas tersebut meledak dan kemudian mengembang dan membentuk materi-materi baru, hingga terbentuk seperti sekarang ini.

Apakah big bang akan terus diyakini sebagai sebuah kebenaran? Jawabannya tentu saja tidak. Big bang bukanlah akhir dari jawaban tentang terciptannya alam semesta ini. Saya percaya bahwa pada beberapa decade mendatang akan muncul kebenaran ilmiah baru tentang alam semesta ini. Apalagi saat ini sudah muncul teori Multi Universe, yang mengatakan bahwa ada banyak alam semesta lain di luar yang kita kenal ini.

Selain itu, muncul fakta bahwa berkembangnya alam semesta ini, kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. Jadi, bintang atau galaxy yang sekarang masih bisa diamati, suatu saat akan hilang tidak bisa diamati, karena cahaya dari bintang atau galaxy tersebut tidak pernah akan sampai ke bumi lagi. Maka muncul teori bahwa alam semesta baru muncul, lahir dari alam semesta yang kita kenal ini.

Kebenaran Hakiki Tidak Masuk di Akal, Bisa Dirasakan

Jadi, kebenaran menurut akal manusia akan selalu terus berubah dan berkembang. Akal manusia tidak akan bisa menemukan kebenaran mutlak yang hakiki. Hal in disebabkan kebenaran yang dihasilkan oleh akal dan pikiran adalah kebenaran yang diperoleh melalui kemampuan indera dan intelektualitas alamiah manusia, tanpa bantuan anugerah supranatural. Artinya, informasi yang didapat melalui pengamatan inderawi terhadap alam, kemudian diinterpretasi secara intelektual oleh manusia untuk menghasilkan kebenaran yang relatif sifatnya.

Sementara itu pencarian kebenaran hakiki, yang identik dengan pencarian Tuhan itu sendiri, selain menggunakan akal dan pikiran, juga harus menggunakan ‘hati nurani’. Justru hati nurani lebih berperan dalam pencarian kebenaran hakiki ini.

Seperti diketahui, selain tubuh, manusia juga mempunyai jiwa. Alat dari jiwa adalah otak manusia, yang meliputi unsur pikiran, emosi (perasaaan) dan kehendak. Dengan pikirannya, manusia dapat berpikir untung rugi dan mencari solusi dari suatu permasalahan. Dengan perasaan, manusia dapat mengasihi, membenci dan marah. Dengan kehendak, manusia dapat memilih baik dan buruk.

Akal budi adalah kehendak manusia untuk memilih hal yang baik dan buruk. Hati nurani adalah kehendak manusia untuk selalu memilih yang baik dan benar. Oleh sebab itu, Kebenaran Hakiki yang adalah Tuhan sendiri yang maha besar, tidak akan muat dimasukan ke dalam akal manusia yang sangat kecil. Namun, dengan kehendakNya, Tuhan bersedia hadir dan masuk ke dalam ruang hati nurani manusia.

Kebenaran hakiki adalah sumber salah dan benar. Di dalamNya tiada salah dan tiada benar, karena keduanya sudah melebur jadi satu. Kebenaran hakiki juga adalah sumber dari segala pengetahuan, di mana akal dan pikiran adalah salah satu cabangnya. Maka dari itu, Kebenaran hakiki tidak bisa dipikirkan, namun bisa dirasakan.

Penutup

Manusia tidak perlu lagi memaksakan pikiran dan akalnya mencarai jawaban apa, bagaiman dan di mana Kebenaran Hakiki? Seperti apa, bagaimana dan di mana Tuhan?

Yang diperlukan adalah pencarian jawaban dari pertanyaan bagaimana cara merasakan kehadiran Tuhan, yang adalah Sang Kebenaran Sejati dalam diri kita, sekaligus meresapinya dan menjadikan sandaran hidup sehari-hari? Dan jawabannya adalah dengan  mendengar dan menuruti suara hati nurani.

Di era yang serba materialistis ini, memang tidak mudah untuk mendengar suara hati nurani. Pikiran kita yang selalu ingin mencari keuntungan diri sendiri dan perasaan atau emosi marah dan benci yang mudah keluar, akan selalu menutupi panggilan suara hati nurani.

Namun, dengan terus melatih diri dan dengan merubah tujuan hidup, maka akan semakin peka mendengar suara hati nurani. Kalau tekun terus melatihnya, tidak hanya akan memperoleh  jawaban, melainkan Sang Kebenaran Hakiki itu sendiri yang akan hadir dalam diri kita. Selamat mencari Sang Kebenaran Hakiki. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun