Hampir semua orang akan berkata bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila bisa diterima dengan logika. Kebenaran haruslah sejalan dengan akal dan pikiran manusia, sedangkan yang tidak sejalan, bukanlah kebenaran dan tidak selayaknya untuk dituruti.
Dalam hal iman, sering terdengar suara bahwa ajaran agama haruslah sesuai dengan logika dan akal. Agama yang mengajarkan sesuatu yang tidak bisa siterima oleh akal, patutlah dipertanyakan kebenaran ajaran tersebut.
Seperti yang dialami oleh umat Kristen yang mengimani Tuhan Trinitas, satu Tuhan dengan tiga Pribadi dan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Tuhan. Â Ajaran seperti ini memang tidak akan masuk di akal manusia. Bagaimanapun manusia memikirkannya, tetap tidak akan masuk akal. Lalu bagaimana menyikapinya?
Kesepakatan Manusia, Kebenaran yang Relatif
Kalau direnungkan lebih dalam, sejatinya di alam raya ini, akal manusia tidak akan mampu menemukan kebenaran yang hakiki. Tidak ada kebenaran hakiki di bumi ini. Yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat relatif dan tafsir-tafsir atau kesepakatan yang dibuat oleh manusia.
Misalnya dalam hal matematika sederhana. Penjumlahan 1+1+1 adalah 3. Jawaban ini adalah jawaban yang benar, karena sesuai kesepakatan yang dibuat manusia, dimana untuk bilangan desimal memang penjumlahan tersebut hasilnya tiga. Akan tetapi, jika menggunakan bilangan biner sebagai acuan, maka 1+1+1 = 11. Jadi jawaban 3 dan 11 adalah benar secara relatif, sesuai acuan atau kesepatan yang dipakai. Jawaban tersebut tidak bisa dianggap sebagai jawaban yang benar secara hakiki.
Semua yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan juga tidak ada kebenaran yang hakiki atau sejati. Cuma ada kebenaran yang bersifat relatif, yang suatu saat bisa dianggap sebagai sesuatu yang salah. Tidak lagi benar.
Pada awal abad pertengahan, bumi berbentuk datar dan juga pusat alam semesta dianggap sebagai suatu kebenaran pada saat itu. Namun, hanya kebenaran ilmiah yang bersifat relatif, yang artinya manusia saat itu, dengan kemampuan akal dan pikiran yang dimiliki bersepakat bahwa bumi datar sekaligus sebagai pusat alam semesta. Jadi, bukan kebenaran sejati atau hakiki.
Kebenaran relatif tersebut berubah menjadi salah ketika Ferdinand Magellan beserta anak buahnya berlayar mengelilingi bumi dan ketika Nicolaus Copernicus yang kemudian dikuatkan oleh Galileo Galilei membuktikan bahwa Matahari sebagai pusat Tata Surya dan bukannya Bumi.
Berlanjut pada abad 19, manusia dengan akal dan pikirannya juga meyakini akan kebenaran bahwa alam semesta adalah tetap dan dalam keadaan stabil (Steady State), hingga ‘Huble Space Telescope’ membuktikan bahwa alam semesta ternyata mengembang dengan kecepatan yang sangat besar.
Kemudian muncul teori big bang, yang saat ini masih dianggap sebagai suatu kebenaran untuk menjelaskan bahwa alam semesta mempunya awal berupa titik singularitas, yang berukuran amat sangat kecil namun amat sangat padat. Titik singularitas tersebut meledak dan kemudian mengembang dan membentuk materi-materi baru, hingga terbentuk seperti sekarang ini.