Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kita dan Indonesia yang Menunggu

4 Februari 2017   11:36 Diperbarui: 4 Februari 2017   13:52 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumen Pribadi

 

Teringat almarhum ayah, seorang pegawai tata usaha, sekaligus guru agama di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP-N). Ayah selalu menenteng bacaan, baik koran, majalah atau buku, setiap bepergian ke luar rumah. Itu dilakukan, ketika pergi sendiri atau bersama-sama keluarga. Kadang juga, beliau bawa tas cangklong yang isinya bisa dipastikan adalah kertas-kertas yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Pernah saat saya masih kelas 5 SD,  sekeluarga berada di stasiun Tugu-Jogyakarta untuk bepergian ke Jakarta. Di saat bersiap diri menunggu waktu keberangkatan yang tidak lama lagi, tiba-tiba ada pengumuman, bahwa jadwal keberangkatan kereta mundur dua jam. Memang, di jaman orde baru, jadwal kereta ‘ngaret’ bukanlah hal yang baru.

Begitu mendengar pengumuman itu, sontak banyak orang mengeluh, termasuk ibu saya, yang terlihat kesal dan ‘ngomel-ngomel’ sendiri. Ibu terlihat gelisah dan khawatir akan ketinggalan acara keluarga di rumah paman saya di Jakarta.

Sementara itu, saya lihat ayah cuma tolah-toleh sebentar dan kemudian berjalan menuju sebuah kursi kosong. Begitu duduk, langsung dibuka majalahnya untuk dibaca. Tidak hirau dan risau dengan situasi yang ada. Terlihat, ditengah keasikannya membaca, ayah kadang tersenyum sendiri. Kulihat juga, ayah kadang mengambil buku kecil dari tas dan menuliskan sesuatu. Entah apa yang ditulisnya.

Aku mendekat ke ayah. Ketika ayah mendongakan wajah ke arahku, seperti baru tersadar, langsung diambilnya sesuatu dari dalam tasnya. Disodorkannya dua majalah yang aku kenal. ‘Bobo’ dan ‘Hai’. Dengan gembira aku menerimanya dan langsung duduk di lantai dekat kaki ayah dan mulai asyik bolak-balik majalah. Kupilih majalah ‘Hai’ yang biasa kakak baca saat itu. Ah, hati ini mendadak rindu ayah dan ibu yang sudah berpulang…..

Perasaan Saat Menunggu  

Bagi sebagian orang, menunggu memang tidak mengenakan, karena tidak ada kepastian. Tidak ada aktifitas fisik yang berarti, namun tanpa kita mengerti, emosi selalu aktif bergejolak menggelayuti.

Sebagai seorang pekerja, perasaan senang muncul saat menunggu gaji plus THR yang akan segera tiba. Perasaan senang dan gelisah bercampur jadi satu saat menunggu sang buah hati, yang dalam hitungan menit akan hadir.

Sebaliknya, perasaan khawatir dan takut menggelayuti, saat menunggu orang yang dikasihi berada di kamar operasi rumah sakit. Perasaan bosan dan kesal muncul saat menunggu sesuatu yang tidak pasti. Terkadang, di sela-sela menunggu, keluar kata-kata kotor dan tindakan negatif yang sebenarnya tidak perlu.

Menunggu  Menjadi Bagian Kehidupan

Kalau melihat lebih dalam, sejatinya aktifitas ‘menunggu’ akan selalu dijalani dalam kehidupan manusia. Waktu menunggu diperlukan, karena tidak ada sesuatupun yang langsung jadi. Segalanya butuh proses. Mulai dari proses yang simple dan cepat, seperti menunggu proses berpikir dalam memutuskan nonton film di bioskop, hingga yang sangat rumit dan butuh waktu sangat lama, seperti menunggu proses terciptanya bumi menjadi seperti sekarang.

Anak yang dirindukan butuh sembilan bulan menunggu. Kita harus menunggu beberapa tahun untuk menjadi diri kita sekarang. Segala cita-cita dan keinginan harus sabar ditunggu untuk terwujud.

Menurut kitab suci, manusia butuh ribuan tahun menunggu ‘Sang Putera‘ hadir di tanah Judea. Ratusan tahun kemudian dibutuhkan untuk menunggu kehadiran ‘Sang Kekasih Allah’ di tanah Arab.

Butuh ribuan tahun, manusia menunggu untuk tahu, bahwa bumi ternyata bulat, tidak datar. Menunggu ratusan tahun pula untuk mengerti, bahwa Matahari yang menjadi pusat tata surya dan bukan Bumi.

Berproses dan Bertumbuh di Saat Menunggu.

Sejatinya, waktu menunggu merupakan kesempatan bagi manusia untuk tumbuh. Dengan kata lain, kualitas hidup manusia tercermin, sekaligus sangat ditentukan dari apa yang dilakukan selama menunggu. Diri kita sekarang adalah cerminan dari apa yang kita lakukan ‘saat menunggu’.

Jadi, kalau selama menunggu sesuatu yang tidak pasti, kita tidak melakukan apa-apa selain merasa gelisah, bosan dan marah, maka itulah diri kita sebenarnya. Seseorang yang mudah gelisah, pembosan, pemarah dan kontrol diri yang minim. Akibatnya, tidak akan mendapatkan pertumbuhan yang positif.

Namun sebaliknya, bila selama menunggu, diisi dengan hal-hal positif, seperti membaca atau mengerjakan hal-hal kecil yang bermanfaat, maka dengan sendirinya akan membawa seluruh pikiran, jiwa dan raga kita, menuju ke arah pertumbuhan yang baik. Jika terus berlangsung, maka ‘saat menunggu’ bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan, sekaligus menjadi sarana untuk memupuk diri agar terus bertumbuh.

Aktifitas dan pekerjaan yang kita lakukan saat ini, juga merupakan bagian dari proses menunggu untuk menuju ke tahap berikutnya. Bisa ke tahap yang lebih baik, tetap atau bahkan lebih buruk. Semuanya tergantung dari kualitas aktifitas dan pekerjaan yang kita lakukan selama ‘proses menunggu’. Kualitas tersebut, sangat berhubungan dengan apa yang dilakukan saat benar-benar dalam keadaan menunggu.

Indonesia Yang Menunggu

Indonesia juga menunggu tiga setengah abad untuk lepas dan merdeka dari penjajahan. Namun, setelah merdeka, kegiatan yang dilakukan ‘saat menunggu’ untuk menuju ke kemakmuran bangsa masih belum maksimal. Banyak energi bangsa terkuras hanya untuk mencegah dan meredam pertikaian akibat perbedaan yang ada. Banyak hal-hal yang mestinya sudah selesai masih terus diungkit lagi.

Saat menunggu menuju ke kemakmuran, ada elemen bangsa yang cuma diam tanpa berbuat kebaikan. Ada elemen bangsa yang cepat bosan, sehingga hanya menggerutu dan ngomel. Ada sebagian elemen bangsa yang cuma  marah-marah dan gemar mengkritik dan menyalahkan, serta menuntut pemerintah melalui demo, tanpa memberi solusi. Mereka hanya bisa melihat kejelekan tanpa bisa berbuat untuk kemajuan negeri.

Sebenarnya, Indonesia hanya butuh memperbaiki kualitas diri. Ini berarti, masyarakatnya cukup membiasakan diri untuk menikmati ‘saat menunggu’ dengan melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan kemampuan diri.

Dalam sehari, ada banyak waktu menunggu. Hal-hal kecil, seperti saat dalam perjalanan atau saat menunggu di ruang tunggu, adalah waktu yang bisa  dinikmati dan dimanfaatkan untuk membaca, melakukan pekerjaan atau melakukan hal-hal positif lainnya.

Mari, nikmati ‘saat menunggu’ kita dengan melakukan hal-hal positif yang kita sukai, untuk membawa negeri tercinta Indonesia bergerak lebih cepat maju. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun