Pemkab Banyumas baru saja merampungkan pembangunan sebuah tugu di Underpass Jenderal Soedirman. Tugu itu bernama Gada Rujak Polo, disingkat Tugu GRP. Sebuah tugu yang mempunyai semangat leluhur di Kabupaten Banyumas.
Tugu berlambangkan gada itu mengambil inti dari lambang daerah Banyumas. Gada Rujak Polo sendiri merupakan senjata Werkudara dari Pandhawa Lima. Lambang itu juga mempunyai filosofi agar masyarakat Banyumas bisa lebih mengutamakan nalar dan rasa.
Namun, sebagian warga Banyumas belum mencermini sepenuhnya semangat dan filosofi itu. Pasalnya, Minggu (4/10/2020) malam, warga datang membanjiri sekitar Tugu GRP. Tak pelak memicu kemacetan dan arus lalu lintas pun tersendat.
Padahal, beberapa pekan yang lalu, Al Hidayah, salah satu pondok pesantren di Purwokerto menjadi klaster baru Covid-19. Dari hasil sampel 631 tes swab, santri yang positif terbilang banyak, ada 328 santri terinfeksi Covid-19. Hingga kini, baru 20 santri yang dinyatakan sembuh. Kini Purwokerto sudah masuk zona merah Covid-19.
Melihat penyebaran Covid-19 di Kabupaten Banyumas, khususnya Purwokerto, seharusnya kita bisa lebih menjaga diri, juga menahan ego. Lebih peduli terhadap dampak yang ditimbulkan apabila berkerumun.
Bupati Banyumas, Ir. Achmad Husein bahkan terus mengimbau kepada warga Banyumas agar tidak berkerumun. Selalu cuci tangan, memakai masker, Â dan tetap jaga jarak. Sebagai warga Banyumas yang baik, alangkah baiknya senantiasa mengikuti anjuran tersebut.
Pemkab Banyumas juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit di Kabupaten Banyumas. Perda tersebut merupakan sebuah upaya dari pemerintah kabupaten untuk turut serta memerangi penyebaran Covid-19.
Pada Pasal 24 ayat (2) Perda tersebut menjelaskan, bahwa setiap orang wajib memakai masker apabila beraktivitas di luar atau di dalam ruangan publik dan bertemu dengan orang lain; menghindari atau tidak melakukan kegiatan yang dapat mengundang orang banyak atau dapat menimbulkan kerumunan; dan/atau mentaati perintah isolasi mandiri setelah perintah isolasi mandiri tersebut ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Perda ini mengatur pula tentang adanya ketentuan pidana.
Pasal 31 ayat (3) menjelaskan, setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan/atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Pelaksanaan terhadap ketentuan ini dilakukan dalam operasi penertiban yang termuat dalam Pasal 32.
Pemkab dan Polresta Banyumas masih terus melaksanakan operasi penertiban masker di tiap kecamatan di Kabupaten Banyumas. Dalam operasi itu pun Pemkab dan Polresta Banyumas kerap kali menyosialisasi kepada warga. Tentang pentingnya menggunakan masker ketika di luar rumah serta protokol kesehatan lainnya selama pandemi Covid-19.
Upaya Pemkab Banyumas menjadi percuma jika masyarakat abai dan tak mematuhi protokol. Apalagi, jika terus berkerumun di sekitar Tugu GRP yang baru selesai dibangun itu. Bisa berakibat adanya klaster baru di Kabupaten Banyumas.
Kemarin, dua orang kawan saya ikut meramaikan khazanah kerumunan di Tugu GRP. Sebelummya, saya sudah mengingatkan agar tidak ikut-ikutan berkerumun. Namun, salah satunya malah mencela dan berkata,
 "Belih, lah! Bodoa, urip-uripku ikih. Ngurusi temen, sih. Arep foto-foto sedela." (Bodoamat, hidup-hidupku kok. Urusan amat, sih. Mau foto-foto sebentar).
Saya mengakui, itu hak mereka untuk mematuhi protokol kesehatan atau melanggarnya. Tetapi, hargailah orang-orang yang masih peduli terhadap kesehatan. Orang-orang yang patuh terhadap aturan, yang terus berjuang meningkatkan imun tubuh agar terhindar dari Covid-19.
Jika alasannya berswafoto dengan latar belakang Tugu GRP bisa meningkatkan imun, itu bukanlah alasan. Bisa dengan cara lain. Misalnya; olahraga, membaca buku, menonton film, atau hal-hal positif lainnya. Asalkan tidak berkerumun.
Bukankah Pemkab Banyumas membuat Tugu GRP agar kita bisa memetik pelajaran? Atu setidaknya mengutamakan nalar dan rasa. Mencontoh laku hidup Werkudara sebagai seorang kesatria? Jika mematuhi anjuran pemerintah untuk mematuhi protokol kesehatan saja tidak mau, apakah pantas kita disebut kesatria?
"Tujuan dari orang bijak adalah bukan untuk mendapatkan kesenangan, tapi untuk menghindari rasa sakit."
- Aristoteles, Filsuf Yunani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H