Kemarin, dua orang kawan saya ikut meramaikan khazanah kerumunan di Tugu GRP. Sebelummya, saya sudah mengingatkan agar tidak ikut-ikutan berkerumun. Namun, salah satunya malah mencela dan berkata,
 "Belih, lah! Bodoa, urip-uripku ikih. Ngurusi temen, sih. Arep foto-foto sedela." (Bodoamat, hidup-hidupku kok. Urusan amat, sih. Mau foto-foto sebentar).
Saya mengakui, itu hak mereka untuk mematuhi protokol kesehatan atau melanggarnya. Tetapi, hargailah orang-orang yang masih peduli terhadap kesehatan. Orang-orang yang patuh terhadap aturan, yang terus berjuang meningkatkan imun tubuh agar terhindar dari Covid-19.
Jika alasannya berswafoto dengan latar belakang Tugu GRP bisa meningkatkan imun, itu bukanlah alasan. Bisa dengan cara lain. Misalnya; olahraga, membaca buku, menonton film, atau hal-hal positif lainnya. Asalkan tidak berkerumun.
Bukankah Pemkab Banyumas membuat Tugu GRP agar kita bisa memetik pelajaran? Atu setidaknya mengutamakan nalar dan rasa. Mencontoh laku hidup Werkudara sebagai seorang kesatria? Jika mematuhi anjuran pemerintah untuk mematuhi protokol kesehatan saja tidak mau, apakah pantas kita disebut kesatria?
"Tujuan dari orang bijak adalah bukan untuk mendapatkan kesenangan, tapi untuk menghindari rasa sakit."
- Aristoteles, Filsuf Yunani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H